KUASA hukum pemohon Anies-Muhaimin terkesan mengajukan petitum melampaui sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024.
Beberapa petitum Anies-Muhaimin juga menjadi petitum kuasa hukum pemohon Ganjar-Mahfud. Misalnya, pertama, kuasa Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan untuk memutuskan menyatakan batal surat keputusan (SK) Nomor 360/2024 tentang penetapan hasil pemilu Pilpres, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional dalam Pemilu 2024.
Kedua, kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berharap MK menyatakan diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran.
Ketiga, kuasa hukum Anies-Muhaimin mengharapkan MK menyatakan batal Keputusan KPU RI Nomor 1632 tentang penetapan paslon pilpres berkaitan dengan paslon Prabowo-Gibran.
Keempat, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa mengikutsertakan paslon Prabowo-Gibran. Alternatifnya adalah mengganti Gibran sebagai cawapres.
Kuasa hukum Ganjar-Mahfud mengharapkan pemungutan suara di seluruh Indonesia selambat-lambatnya tanggal 26 Juni 2024, di mana MK diharapkan memerintahkan KPU melaksanakan putusan.
Kelima, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan Bawaslu melakukan supervisi. Keenam, juga berharap MK memerintahkan presiden bertindak netral, tidak memobilisir aparatur negara, dan tidak menggunakan APBN sebagai alat untuk menguntungkan salah satu paslon dalam pemungutan suara ulang.
Ketujuh, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan kapolri beserta jajarannya untuk melakukan pengamanan proses pemungutan suara ulang pilpres secara netral dan profesional.
Kedelapan, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan TNI beserta jajarannya untuk membantu pengamanan proses pemungutan suara ulang pilpres sesuai kewenangannya.
Persoalannya adalah pembatalan pemilu 2024 SK 360/2024, mempunyai konsekuensi juga turut membatalkan penetapan hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional, sekalipun pihak yang bersengketa hanyalah kuasa hukum pilpres.
Pembatalan pemilu secara nasional yang seperti ini sungguh amat sangat merugikan pihak-pihak yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pihak yang bersengketa tentang pilpres.
Petitum dari kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang seperti ini terkesan sungguh melampaui sengketa perselisihan hasil pilpres, karena persoalan diperluas oleh kedua kuasa hukum kepada persoalan pileg.
Di samping itu semua sengketa pilpres pada setiap tempat pemungutan suara (TPS) sesungguhnya telah dilakukan penghitungan ulang, rekapitulasi ulang, pemungutan suara ulang, dan pemungutan suara susulan secara berjenjang oleh penyelenggara pilpres.
Dalam hal ini kedua kuasa hukum terkesan menolak membicarakan sengketa perselisihan perolehan suara hasil pilpres, melainkan melakukan langkah mundur ke dalam persoalan pelanggaran yang berada di luar wewenang MK tentang perolehan hasil pilpres yang tidak memengaruhi kemenangan hasil suara pilpres, yaitu mengenai pelanggaran administratif dan pelanggaran proses pemilu, yang berada dalam kewenangan Bawaslu.
Diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran, atau Gibran saja menunjukkan inkonsistensi yang bersifat sangat mendasar, yang mengesankan bahwa petitum yang disusun oleh kuasa hukum Anies-Muhaimin sama sekali tidak yakin dengan petitum yang dituntutkannya.
Kuasa hukum Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud terkesan sangat kuat telah mengalami kebingungan, yang luar biasa tentang siapa sesungguhnya yang menjadi pangkal persoalan dari tuduhan-tuduhan di balik sumber kecurangan dalam pilpres.
Ambigu dari kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud terkesan amat sangat kuat telah menyimpang sama sekali terhadap penyampaian posita, yang menduga penyalahgunaan kekuasaan dari presiden, namun mempersalahkan bukan hanya untuk Gibran, bahkan keduanya, yaitu Prabowo-Gibran.
Di samping itu sesungguhnya tim kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak punya dasar hukum untuk mempersoalkan penyalahgunaan kekuasaan dari presiden kepada MK. Sebab, berdasarkan UUD 1945 hasil Amandemen keempat satu naskah (Pasal 24C ayat (2)) menyatakan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden.
Jadi, hanya pengajuan pendapat oleh DPR saja yang mesti diputuskan oleh MK, namun bukanlah atas posita dan petitum dari kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam ranah sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024.
Diskualifikasi bukanlah ranah kewenangan MK, melainkan Bawaslu. Kuasa hukum yang mempersoalkan keikutsertaan Gibran sebagai cawapres, namun persoalan disampaikan hanya setelah kalah pasca pengumuman penetapan pemenang pilpres oleh KPU.
Di samping itu Putusan MK nomor 90 sudah pernah digugat dalam pengadilan MK, namun gugatan untuk membatalkan Putusan MK nomor 90 mengalami kegagalan.
Artinya, diskualifikasi Gibran sebagai cawapres tidak mempunyai dasar hukum. Demikian tuduhan kemenangan Prabowo-Gibran menang satu putaran disebabkan oleh kecurangan terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh presiden, juga tidak mempunyai dasar hukum untuk digunakan sebagai argumentasi guna mendiskualifikasikan paslon Prabowo-Gibran.
Jika pihak yang diduga curang adalah presiden, maka kecurangan tidak dapat dibebankan kepada Gibran, terlebih untuk dibebankan kepada paslon Prabowo-Gibran.
Sementara itu untuk mempersalahkan dugaan penyalahgunaan presiden, itu hanya dapat diajukan dari DPR kepada MK, namun menggunakan persyaratan yang amat sangat ketat sesuai dengan ketentuan untuk mempersalahkan penyalahgunaan kewenangan oleh presiden. Persoalan ini sama dalam forum wewenang MK untuk ranah memutus sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024.
Implikasi tidak dapat dilakukan diskualifikasi, maka penetapan kemenangan satu putaran paslon Prabowo-Gibran oleh KPU juga tidak dapat dibatalkan.
Implikasi lanjutan adalah sama sekali tidak ada kegiatan pemungutan suara ulang secara nasional. Tidak ada perintah lagi MK kepada KPU, Bawaslu, netralitas presiden, kapolri, dan TNI, beserta ASN dan jajarannya untuk membantu dalam pemungutan suara ulang secara nasional.
Di samping itu SK nomor 360/2024 tentang penetapan hasil pemilu pilpres, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional dalam pemilu 2024 tetap berlaku.
Juga tidak ada lagi prediksi pengelompokan proporsi hakim MK yang konservatif dibandingkan yang progresif dalam memutuskan sengketa perselisihan hasil pilpres.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana