Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen diyakini akan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal tersebut dikatakan ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pada Selasa (12/3).
Menurut Bhima, kenaikan PPN justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, karena konsumsi rumah tangga dinilai akan menurun akibat kenaikan PPN.
“Kenaikan tarif PPN jadi 12 persen akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga,” kata Bhima kepada
Kantor Berita Politik RMOL.Dengan naiknya PPN dari 10 persen menjadi 12 persen, lanjut Bhima, akan berdampak pada turunnya belanja masyarakat, karena beban biaya hidup yang saat ini sudah sangat tinggi.
“Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, rumah juga bisa melambat. Ini kontradiksi dengan target pertumbuhan 8 persen dari pemerintah,” sambungnya.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen akan sulit dicapai, jika pemerintah tetap menerapkan kenaikan tersebut pada 2025 mendatang.
“(Pertumbuhan ekonomi 8 persen) hampir sulit karena motor utama konsumsi domestiknya terhambat,” pungkasnya.
Komentar tersebut dikeluarkan ekonom senior setelah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan rencana kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang, sesuai dengan keberlanjutan yang akan dilakukan pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Adapun kenaikan PPN tersebut tertuang dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Lalu, akan kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.