ITU yang terlihat. Persentase partai pemenang pemilu sejak tahun 1999 sampai tahun 2024 ternyata semakin mengecil dukungannya.
Dalam pemilu legislatif di tahun 1999, PDIP mampu mendapatkan kemenangan dengan dukungan 33,74 persen. Di tahun itu masih ada partai yang menang di atas 30 persen.
Lalu di tahun 2004, Golkar yang menang. Pada Pileg 2009, Demokrat yang menang. Namun angka kemenangannya sudah menurun di bawah 30 persen, bahkan di bawah 22 persen saja.
Tahun 2004, Golkar juara satu tapi menang di persentase 21,58 persen. Tahun 2009, Demokrat menangnya turun lagi di posisi 20,85 persen.
Semakin mengecilnya partai pemenang pemilu berlanjut. Di pemilu 2014, pemenangnya turun lagi di bawah 20 persen. PDIP menangnya di 2014 ini hanya 18,95 persen. Lalu PDIP lagi di 2019 pada angka 19,33 persen.
Sekarang di tahun 2024, di
quick count LSI Denny JA, PDIP masih menang tapi sudah di bawah 17 persen.
Apa yang terjadi dengan pertumbuhan partai politik di negara kita? Mengapa partai pemenang pemilu bertambah kecil?
Apakah ini gambaran dari semakin susahnya orang percaya pada partai? Era orang susah setia kepada partai politik kah ini?
Dalam terminologi ilmu politik, ada yang disebut
party ID,
party identification. Di Amerika Serikat, dari 100 persen pemilih itu, 60 persen warga loyal kepada partainya.
Sejak lama, dia pilih Demokrat dan terus pilih Demokrat. Bahkan juga mendukung calon presiden Demokrat. Hal yang sama berlaku untuk Partai Republik. Hanya 40 persen saja yang mengambang.
Tapi kita sini, di Indonesia, rata-rata
Party-ID nya hanya 30 persen saja. Sebanyak 70 persen pemilih mengambang bisa ke mana saja.
Apa efek rendahnya
Party-ID? Akibat pertamanya adalah stabilitas koalisi di DPR. Bagaimanapun, siapa pun presiden yang terpilih, dari partai manapun, ia memerlukan dukungan mayoritas DPR.
Tanpa dukungan mayoritas DPR, kebijakan presiden lumpuh. Jika mayoritas DPR beroposisi, UU yang diajukan presiden, dan APBN yang dikehendaki akan berlarut.
Untuk mendapatkan dukungan mayoritas DPR di tahun 1999, itu cukup memerlukan gabungan dua partai politik tertinggi saja. Jika PDIP itu (di atas 33 persen) dan Golkar (di atas 22 persen) bergabung, mereka sudah menjadi koalisi yang menguasai mayoritas kursi DPR.
Tapi di tahun 2024 ini, karena partai politik yang paling tinggi hanya memperoleh 17 persen, bahkan tiga partai politik menggabungkan suaranya, dukungannya masih kurang dari 50 persen.
Akibatnya, kebijakan publik lebih diwarnai oleh negosiasi kasuistik di parlemen. Satu kerangka besar
public policy, apalagi satu
legacy program yang perlu dukungan di atas lima tahun, itu akan susah untuk dibangun.
Negosiasi kebijakan publik tidak lagi pada ideologi, tak lagi pada
platform, tapi pada hal-hal yang sifatnya sangat pragmatis saja.
Partai politik menghilangkan warnanya, ikut saja kebijakan presiden. Yang celaka jika presiden tak memiliki
core philosophy jangka panjang yang konsisten.
Karena semakin mengecilnya partai pemenang pemilu, perlu kita memunculkan satu inovasi baru, satu gagasan baru.
Hal ini sudah saya sampaikan pada Jokowi dalam perjumpaan empat mata, sebelum hari pencoblosan. Juga saya sampaikan kepada Prabowo dalam percakapan berdua.
Legacy seorang presiden atas sebuah gagasan besar memerlukan waktu hingga 20-25 tahun agar gagasan itu kokoh dieksekusi hingga tuntas dan detail. Artinya, sebuah gagasan besar hanya mungkin mengejawantah jika didukung oleh beberapa presiden tanpa diinterupsi, tanpa dioposisi.
Contohnya IKN, pindah ibu kota baru ke Kalimantan. Agar IKN itu benar-benar bisa tuntas berdiri di sana, dan semua instrumen pemerintahan bekerja di sana, tumbuh dan kemudian juga sehat, itu tak selesai dalam waktu lima tahun.
IKN memerlukan waktu 20 tahun sampai 25 tahun agar terkonsolidasi. Apa jadinya jika di tengah jalan, IKN ditentang karena presiden baru tak memiliki komitmen memindahkan ibu kota, bahkan berupaya membatalkan UU yang mendasarinya.
Jika di tahun 2024, Anies Baswedan yang terpilih, bukankah Anies sudah mengatakan ia tidak setuju dengan IKN?
Maka segala pembangunan yang dimulai Jokowi di IKN segera mangkrak. Tak akan pernah ada program besar yang berkelanjutan dapat tumbuh konsisten jika setiap ganti presiden juga berarti ganti kebijakan.
Lalu apa solusinya? Kita harus coba memulai membuat semacam barisan nasional di Malaysia, koalisi semi permanen, setidaknya untuk kerja sama selama 20 tahun.
Mengapa minimal 20 tahun? Itu karena tahun 2045 tinggal 20 tahun lagi. Setelah Prabowo terpilih di tahun 2024-2029, kita memerlukan tambahan lima belas tahun, tiga pemilu presiden lagi.
Di tahun 2045, Indonesia diprediksi menjadi negara terbesar keempat secara ekonomi. Kita memerlukan kesenimbungan
leadership supaya 20 tahun ini mereka semua berada pada kerangka makro
legacy yang sama.
Berarti selama 20 tahun itu, kita memerlukan konsistensi kekuasaan yang bersetuju mencapai satu gagasan besar bersama, yang terus dirawat.
Pada titik inilah koalisi semi permanen untuk mengawal pemerintahan sampai tahun 2045 menjadi terpenting. Salah satu tugas koalisi ini termasuk membantu siapa yang akan menjadi
the next president hingga 2045, yang memiliki visi yang sama.
Karena saat ini, Gerindra dan Golkar yang menjadi partai terbesar di pemerintahan, maka dua partai ini bisa memimpin koalisi semi permanen hingga 2045. Siapa ketum Gerindra dan ketum Golkar hingga 2045 menjadi krusial.
Partai lainnya yang kini ikut dalam Koalisi Indonesia Maju di bawah Prabowo-Gibran, seperti PAN dan Demokrat menjadi pilihan sekutu yang pertama.
Sebagian dari partai di luar koalisi pemenang pilpres, seperti PKB, Nasdem, PPP, bahkan PDIP dan PKS, bisa mempertimbangkan diri untuk bergabung.
Tentu saja penting pula menyisakan partai politik untuk tetap berada di luar pemerintahan. Oposisi politik tetap diperlukan.