DALAM dinamika negara demokrasi, peran mendiang Dr Rizal Ramli (RR) sebagai tokoh oposisi sangat penting sebagai pilar kontrol kekuasaan, memastikan pemerintah fokus pada kepentingan rakyat.
Namun, tantangan besar muncul ketika kritikannya diabaikan, dan situasi semakin kompleks ketika ekonom nasional Dr Rizal Ramli wafat pada 2 Januari 2024 tanpa penerus yang konsisten menyuarakan kritik di ruang publik.
Ketika almarhum RR menyoroti kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, seperti penerapan
presidential threshold (PT) 20 persen, kenaikan BBM, kebutuhan rakyat atas sembako, bahkan soal rencana Pilpres 2024 yang disetingi dengan kecurangan, sebagaimana dikutip oleh kanal YouTube
Medcom.id dengan judul:
Waduh Rizal Ramli Sebut Pilpres 2024 Sudah Disetting.
Pernyataan Bang RR tersebut mendapat perhatian publik yang terfokus pada perjuangannya.
Namun, ironisnya, seringkali kritik ini dianggap bias dan cenderung menghambat jalannya kekuasaan oleh
buzzer pro-pemerintah dan menciptakan dinamika konflik dalam opini publik.
Sebelum pemilihan presiden 2024 berlangsung pada 14 Februari 2024 lalu, almarhum Bang RR kerap mencermati potensi rencana kecurangan pada pilpres.
Sayangnya, kritik yang dilontarkan tidak selalu diindahkan, terutama oleh para kandidat capres yang cenderung tetap melanjutkan agenda politiknya dengan tetap ikut dalam Pilpres 2024 yang sebelumnya banyak pihak menyebut curang.
Salah satu contohnya, ketika rezim kekuasaan melalui MK enggan mengabulkan gugatan para tokoh masyarakat, akademi, pakar, pemerhati, dan lain-lain terkait penghapusan penggunaan
presidential threshold 20 persen menjadi 0 persen yang diajukan, salah satunya oleh almarhum Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Rocky Gerung, dan lain-lain.
Kemudian pada kandidat Capres 2024 tidak konsisten dan tegas menolak ketika rezim melakukan konsolidasi politik dengan melibatkan ASN dan perangkat desa, menggunakan BIN, TNI, dan Polri sebagai alat informasi presiden untuk memantau internal parpol, dan lain-lain.
Seharusnya ini menjadi sorotan tajam dan tegas oleh semua kandidat capres, khususnya pasangan nomor 1 dan 3. Masih banyak kelemahan kritik tegas yang dilakukan oleh para kandidat Capres 2024.
Konsolidasi Politik dan Konsistensi Kritik TerabaikanPentingnya kritik terlihat saat konsolidasi politik rezim kekuasaan terungkap, dan hak yang seharusnya dikritik malah diabaikan oleh para calon presiden.
Hal ini menunjukkan kekosongan kritik sebagai peluang bagi rezim untuk terus melanjutkan agenda mereka yang dapat merugikan rakyat dan negara terkait penyelenggaraan Pilpres 2024.
Setelah pelaksanaan pemilihan presiden 2024 berakhir, barulah kita menyadari betapa pentingnya mendengarkan kritik almarhum Rizal Ramli dan para tokoh oposisi lainnya, terutama terkait upaya yang berpotensi menciderai demokrasi.
Meskipun sulit mengembalikan kepercayaan pada pelaksanaan pilpres yang bersih, semangat untuk menyelamatkan demokrasi harus dihidupkan kembali, terutama oleh kandidat capres dan partai politik yang dirugikan bersama konstituennya.
Peran PDIP dan Pilihan OposisiPernyataan PDIP yang merencanakan sebagai partai oposisi merupakan langkah yang perlu didukung. Sikap ini seharusnya mencerminkan upaya untuk memahami dan mengakomodasi perasaan massa konstituen yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pilpres.
PDIP, dengan sejarah suksesnya dalam pemilu sebelumnya, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Langkah ke depan PDIP sebagai oposisi, maka perlawanan di parlemen oleh PDIP menjadi kunci untuk memperjuangkan massa pendukungnya.
Dengan pertanyaan dan investigasi yang serius, konsisten, dan tegas terkait pelaksanaan pilpres 2024, PDIP harus dapat membongkar dan mengungkapkan semua persoalan, menjadikan kebenaran sebagai prioritas utama.
Dalam menghadapi situasi politik seperti yang terungkap dalam kasus Pilpres 2024 ini, maka peran tokoh oposisi dari partai koalisi pasangan nomor 1 dan 3 beserta tokoh-tokoh capres-cawapres seperti Anies Baswedan, Cak Imin, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, Megawati (Ketum PDIP), Surya Paloh (Ketum Nasdem), Muhaimin Iskandar (Ketum PKB), Ahmad Syaikhu (Ketum PKS), PPP menjadi krusial.
Mereka harus mewujudkan sikap yang tidak hanya mencerminkan pandangan partainya, tetapi juga mewakili aspirasi dan kepentingan massa konstituen sebagai kader pendukung dan simpatisan partai serta capres-cawapres.
Pentingnya mempertahankan integritas demokrasi dimulai dengan menunjukkan konsistensi dalam kritik dan perjuangan. Tokoh-tokoh oposisi harus memastikan bahwa pandangan dan langkah-langkah yang diambil tidak hanya bermotivasi politik, tetapi juga melayani kepentingan rakyat.
Konsistensi ini mencakup dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Bagi partai seperti PDIP yang berencana menjadi partai oposisi, penting bagi mereka untuk membuktikan bahwa kritik dan perlawanannya terhadap kebijakan pemerintah didasarkan pada keberpihakan kepada rakyat.
Hal ini melibatkan penyusunan program dan agenda yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat, terutama massa konstituen yang selama ini memberikan dukungan.
Tanggung jawab oposisi tidak harus aktif dalam menyusun alternatif kebijakan yang lebih baik dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Dengan begitu, perjuangan mereka tidak hanya terdengar sebagai kritik politik semata, tetapi juga sebagai usaha membangun demokrasi yang lebih kuat.
Oposisi, baik tokoh individual maupun partai, perlu memahami perannya sebagai penjaga demokrasi. Ini melibatkan kemampuan untuk memimpin perlawanan di parlemen dengan pertanyaan dan investigasi yang serius, konsisten, dan tegas terkait pelaksanaan Pilpres 2024.
Selain itu, memastikan bahwa setiap kritik dan perjuangan yang dilakukan memiliki dasar moral dan etika yang kuat.
Langkah-langkah konkret seperti membongkar persoalan yang terjadi, membuka ruang diskusi terbuka, dan melibatkan masyarakat dalam pembahasan kebijakan nasional adalah contoh kontribusi positif untuk penguatan demokrasi.
PDIP, sebagai partai oposisi, perlu mengambil inisiatif ini sebagai bentuk implementasi dari kritik mereka.
PenutupDalam mengemban peran sebagai oposisi, tokoh-tokoh tersebut dan partai yang mewakili mereka harus membawa integritas, kepedulian pada masyarakat, dan komitmen yang tulus untuk memperbaiki sistem demokrasi.
Hanya dengan mengutamakan kepentingan rakyat, mereka dapat memainkan peran yang signifikan dalam mempertahankan integritas demokrasi Indonesia.
*Penulis adalah Pegiat Media Sosial