Berita

Monumen Supriyadi PETA di Bogor/Net

Histoire

Kisah Supriyadi dan Perlawanan PETA Blitar

SELASA, 13 FEBRUARI 2024 | 16:35 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Pada tanggal 14 Februari, bangsa Indonesia sebenarnya memiliki peristiwa bersejarah nan penting menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Namun peristiwa itu kerap dilupakan oleh segenap anak bangsa saat ini. Kebanyakan, mereka justru memperingati Hari Kasih Sayang Sedunia atau Valentine.
 
Tanggal ini menjadi sorotan dan buah bibir seluruh warga Indonesia setelah ditetapkan menjadi Hari Pencoblosan dalam Pesta Demokrasi atau Pemilu Serentak 2024. Tanggal 14 Februari 2024 ini akan menjadi hari bersejarah dalam perjalanan bangsa 5 tahun ke depan.   
 

Namun sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di 17 Agustus 1945, pada 14 Februari 1945 terdapat peristiwa yang disebut-sebut sebagai momentum yang melatarbelakangi Jepang membetuk Dokuritsu Junbi Chosa-kai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Maret 1945.
 
Badan yang berisikan para tokoh pergerakan nasional dari (perwakilan) setiap daerah ini menjadi badan penting dalam merumuskan dasar negara Indonesia merdeka dan konstitusinya.
 
14 Februari 1945 terjadi perlawanan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar, Jawa Timur di bawah pimpinan Shodanco Muradi dan Shodanco Supriyadi. Perlawanan beberapa gelintir prajurit sukarela didikan Jepang kepada para komandannya ini ditengarai karena tidak tahan melihat penderiataan bangsa Indonesia kala itu.
 
Akibat adanya Romusha (kerja paksa) kelaparan dan kemiskinan merebak di mana-mana. Pembataian dan pemerkosaan pun kerap dilakukan oleh serdadu Jepang kepada rakyat Indonesia.
 
Alhasil, kejadian demi kejadian itu membuat Muradi dan Supriyadi menggagas suatu perlawanan kepada basis militer Jepang di Blitar. Dua perwira PETA jebolan Pendidikan Komandan Peleton PETA di Bogor itu langsung menggelar rapat dan konsolidasi dengan beberapa gelintir pasukan di dapur umum markas PETA Blitar.
 
Perlawanan itu turut menjebol gudang senjata tentara Jepang. Pihak tentara Jepang di Blitar pun harus meminta bala bantuan dari kota-kota lain untuk memadamkan perlawanan ini.   
 
Dalam tempo kurang dari 3 hari, tentara Jepang berhasil melumpuhkan pasukan yang baru mengenyam pendidikan militer itu. Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta.
 
Enam orang salah satunya Shodanco Muradi divonis hukuman mati di Ancol pada 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan.
 
Namun sosok Shodanco Supriyadi hilang secara misterius pasca peristiwa tersebut. Silang pendapat di antara beberapa sumber soal nasib Supriyadi menjadi daya tarik tersendiri. Terutama saat kemunculan Andaryoko, sosok yang mengaku sebagai Supriyadi pada tahun 2008 silam.
 
Beberapa sumber menyebutkan, Supriyadi merupakan pemuda yang sering melakukan laku prihatin dan banyak tirakat dalam hidupnya. Sehingga menurut kepercayaan Jawa, Supriyadi adalah orang sakti yang moksa (menghilang) saat menemui ajalnya.
 
Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku ‘Api Sejarah, sebelum melakukan perlawanan, Supriyadi memohon restu pada Kiai Ngabdullah Chatib dan Kiai Mohammad Cholil (dua ulama ternama di Blitar). Dari dua kiai inilah dibacakan doa untuk keselamatan dirinya menjelang perlawanan terhadap Jepang.
 
Bung Karno berdasarkan buku ‘Penyambung Lidah Rakyat’, yang ditulis Cindy Adams juga menjelaskan bahwa Supriyadi sudah merencanakan perlawanan sejak tahun 1944, di kala Bung Karno sekeluarga mudik ke Blitar. Namun Bung Karno hanya diam, tidak menyetujui juga tidak melarang.
 
Harjosemiarso, Kepala Desa Sumberagung pada zaman penjajahan Jepang, beberapa saat setelah pecahnya pemberontakan PETA Blitar mengaku pernah menyembunyikan Supriyadi di rumahnya selama beberapa hari.
 
Dari dia pula, diperoleh informasi bahwa Supriyadi kerap mengunjungi Pantai Selatan di sekitar Blitar. Lagi-lagi, berdasarkan kepercayaan orang Jawa, Pantai Selatan merupakan tempat ngelmu, mencari kesaktian dan ilmu kanuragan yang ampuh.
 
Karena di pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia ini dipercaya bersemayam Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Konon, siapa saja yang sering menjalankan tapa brata di pantai ini, dipercaya akan selamat dalam setiap gejolak.
 
Pasca menghilang, Bung Karno dianggap tahu keberadaan Supriyadi. Sehingga ketika Republik Indonesia berdiri, Supriyadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat pertama oleh Sang Proklamator. Namun karena tak kunjung muncul, akhirnya jabatan itu dipegang oleh Imam Muhammad Sulyoadikusumo.
 
Perwira Intelijen

Terlepas dari aura mistis di balik kisah menghilangnya Supriyadi, beberapa kawan-kawannya di PETA mengakui bahwa Supriyadi adalah salah satu lulusan terbaik di PETA. Sebelum mengikuti pendidikan PETA di Bogor, dia bersama Dzulkifli Loebis, Daan Mogot, dan Kemal Idris adalah lulusan Seinen Dojo, barisan pemuda Indonesia yang dididik ilmu intelijen oleh Nakajima.
 
Konon, ketika dinyatakan hilang, Supriyadi termasuk orang yang mendirikan Badan Istimewa (sekarang BIN) bersama Dzulkifli Loebis. Badan inilah yang bekerja secara rahasia dalam menyerap informasi Sekutu dan Belanda pasca Indonesia merdeka.
 
Herman Sarens Soediro dalam wawancaranya di sebuah televisi swasta pada tahun 2008 pernah menyebutkan, Supriyadi yang kerap menyepi ke Pantai Selatan bukan karena ingin bertapa. Tetapi di Pantai Selatan Jawa Timur itulah tempat intelijen Sekutu menyusup dari Australia untuk menghancurkan Jepang.
 
Supriyadi yang memiliki kemampuan intelijen mampu membaca situasi itu. Sehingga dia berkeyakinan hanya Sekutu yang bisa menyelamatkan dirinya dari ancaman Jepang. Namun Herman Sarens Soediro meyakini bila Supriyadi sudah mati oleh Kanpetai (Polisi Rahasia Jepang) pasca peristiwa Blitar.

Bahkan beberapa teman PETA lainnya menyebut Supriyadi sebagai pengecut yang lari dari pasukannya saat dihukum mati oleh Jepang.
 
Apa pun asumsi soal misteri Supriyadi, pemerintah telah menetapkan dirinya sebagai Pahlawan Nasional  pada 9 Agustus 1975 berdasarkan Keputusan Presiden No. 063/TK/1975. Kisah perjuangan Supriyadi bersama PETA Blitar tetap terkenang sepanjang masa.

Populer

Seluruh Fraksi di DPR Kompak Serang Kejagung soal Tom Lembong

Rabu, 13 November 2024 | 18:01

Kapolri Mutasi 55 Pati dan Pamen, Ada 3 Kapolda Baru

Selasa, 12 November 2024 | 23:52

Berkinerja Buruk, Kadis Parekraf Layak Diganti

Rabu, 13 November 2024 | 00:20

"Geng Judol" di Komdigi Jadi Gunjingan sejak Bapak itu Jabat Menteri

Rabu, 06 November 2024 | 07:53

Dedi Prasetyo Dapat Bintang Tiga jadi Irwasum, Ahmad Dofiri Wakapolri

Selasa, 12 November 2024 | 22:50

Tak Terima Dikabarkan Meninggal, Joncik Laporkan Akun Facebook "Lintang Empat Lawang" ke Polisi

Kamis, 07 November 2024 | 06:07

Musa Rajekshah Dorong Pemetaan Potensi dan Keunggulan Desa

Kamis, 07 November 2024 | 21:43

UPDATE

Pria Gagal Nyaleg Sampai Nekat Bunuh Diri Depan MA Brasil

Jumat, 15 November 2024 | 14:03

Ijazah Pesantren Harus Diakui Negara Tanpa Syarat

Jumat, 15 November 2024 | 13:55

Rumah Tokoh Asal Riau Dilelang Bank Gara-gara Debiturnya Ngemplang Kedit

Jumat, 15 November 2024 | 13:54

Indonesia Dorong Pengoptimalan Pemanfaatan IK-CEPA untuk Tingkatkan Kinerja Perdagangan

Jumat, 15 November 2024 | 13:45

Pemprov DKI Pastikan Program Bansos Tak Berkaitan dengan Dukungan Pilkada

Jumat, 15 November 2024 | 13:36

Dipimpin Puan, Rapat Persiapan Uji Kelayakan Capim KPK Tertutup

Jumat, 15 November 2024 | 13:36

Dialog Kebangsaan Hari Pahlawan: Jejak Sejarah Lagu Indonesia Raya dan Inspirasi Membangun Nasionalisme

Jumat, 15 November 2024 | 13:31

Regulasi IPS Biang Kerok Kemurkaan Peternak Sapi Perah

Jumat, 15 November 2024 | 13:19

Permintaan Baterai Naik, Komatsu Jepang Tingkatkan Investasi di AS

Jumat, 15 November 2024 | 13:01

Citra Kejaksaan Bisa Terpuruk Jika Tidak Koreksi Diri

Jumat, 15 November 2024 | 12:59

Selengkapnya