DI Indonesia, isu pelindungan pelaut masih saja indak jaleh – Bahasa Minangkabau yang artinya tidak jelas. Padahal, dari aspek peraturan perundang-undangan, profesi/pekerjaan pelaut di Indonesia dilindungi oleh negara melalui UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Sayangnya, menurut diskusi saya dengan seorang aktivis pergerakan pelaut, hal itu hanya sebatas di atas kertas.
Pada kenyataannya, pelaut nasional, baik yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri, tetap saja tak terlindungi. Ambil contoh, sampai hari ini tidak standar gaji untuk pelaut dalam negeri. Mereka digaji/diupah sesuka hati operator atau pemilik kapal. Celakanya, nilainya jauh di bawah standar yang berlaku, dalam hal ini upah minimum regional (UMR).
Pelaut perlu mendapat pengupahan tersendiri atau sektoral karena profesi ini tergolong unik, berbeda dari profesi lainnya. Contoh sederhana. Bila pekerja pada sektor lain pabrik/kantor/tempat bekerja terpisah, tidak begitu halnya dengan pelaut. Selanjutnya, tempat kerja mereka relatif lebih terbuka dengan sirkulasi udara yang lebih alami.
Di sisi lain, pelaut bekerja dan beristirahat di tempat yang sama, ruang kerjanya pun sebagian besar ditutupi dengan pelat-pelat baja. Akhirnya tak terhindari sirkulasi udara diatur oleh berbagai exhaust fan dan AC; udara tak lagi alami. Dan, jelas akan berpengaruh bagi kesehatan raga dan jiwa.
Selain upah yang seenaknya, pelaut juga tidak dilindungi oleh berbagai skema jaminan sosial seperti BPJS, jaminan hari tua, dll. Acap terjadi, untuk mendapatkan semua itu pelaut harus bersitegang urat leher dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Di tengah situasi seperti itu kemudian diundangkanlah UU No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labor Convention 2006. Niatnya sih mulia: untuk melindungi pelaut, khususnya mereka yang bekerja di luar negeri atau pelaut migran. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada aturan turunan terkait standar upah minimum dan jaminan sosial bagi pelaut indonesia yang bekerja di luar negeri sebagaimana diamanatkan dalam MLC 2006.
Melengkapi komitmen melindungi pelaut migran tadi, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2022 tentang tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Aturan ini merupakan tindak lanjut UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dengan segala kekurangan yang ada di dalamnya, regulasi ini patut diapresiasi karena lebih konkret dalam upaya pelindungan pelaut migran dibanding, umpamanya, UU Pelayaran No 17/2008 atau PP No 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran dan lain sebagainya.
Advantage (kelebihan) PP Pelindungan Pekerja Migran bagi pelaut migran ada beberapa. Namun, sebelum masuk ke sana, mari kita lihat terlebih dahulu komplikasi yang ada dalam aturan tersebut. Yaitu, pelaut sesungguhnya memang tidak bisa dikelompokkan sebagai pekerja migran, khususnya mereka yang bekerja di atas kapal yang berlayar lintas negara.
Kendati demikian, ada juga pelaut yang dapat digolongkan sebagai pekerja migran. Status ini melekat kepada mereka yang bekerja di atas kapal bunker service, harbor tug, dan crew boat di Singapura, Malaysia, UAE, dan lainnya yang berlayar terbatas.
Untuk menjalankan profesinya mereka harus menggunakan work permit yang diterbitkan kementerian tenaga kerja setempat. Kepada pelaut yang seperti itulah PP No. 22/2022 ditujukan. Demi pelindungan dan mengisi kekosongan hukum untuk pelaut yang berkerja lintas negara maka dikategorikanlah mereka sebagai pekerja migran sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU No. 18/2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Salah satu advantage PP Pelindungan Pekerja Migran itu adalah penerapan background check. Kebijakan ini diberlakukan agar calon pelaut migran terhindar dari kemungkinan diperlakukan tidak layak oleh principal kapal maupun mereka yang menyalurkannya (manning agent). Background check diawali oleh perwakilan Indonesia di negara penempatan dengan melibatkan kementerian-lembaga terkait. Manakala langkah ini tuntas barulah job order yang ditawarkan principal bisa ditindaklanjuti manning agency.
Mekanisme seperti itulah yang tidak hadir dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang diklaim oleh
leading sector-nya untuk melindungi pelaut, termasuk pelaut migran. Aturan-aturan ini ada dalam ranahnya Kementerian Perhubungan.
Itulah sebabnya setiap kali terjadi kasus antara pelaut (migran) dan principal/manning agent terkait hak pelaut, harus heboh dulu dan penyelesaiannya kerap diawali oleh serikat pelaut, bukan pemerintah. Serikat pelautlah yang mewakili pelaut atau keluarganya dan berhadapan dengan yang berkasus dengan pengusaha pelayaran ketika penempatan mereka di kapal asing yang berujung ambyar.
Sebenarnya hal di atas dihindari bila dilakukan penelusuran latar belakang pemberi kerja terlebih dahulu. Selain background check, PP No. 22/2022 juga mengharuskan adanya deposit oleh manning agency untuk ongkos pemulangan dan pembayaran hak-hak awak kapal ketika ada perselisihan di kemudian hari. Nilainya sebesar Rp 1,5 milyar. Juga, ada mekanisme penyelesain hubungan industrial yang jelas ketika muncul perselisihan.
Kini, skema pelindungan pelaut migran yang sudah berjalan itu tengah di-judicial review di Mahkamah Konstitusi dengan menyasar aturan payungnya, yaitu UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Saya tidak hendak menyitir pasal-pasal yang dimintakan untuk dianulir oleh pemohon; intinya adalah pelaut bukan pekerja migran.
Yang meminta JR merupakan pelaut/mantan pelaut juga. Ada juga perorangan. Mereka didukung oleh pengusaha manning agency. Bila dikabulkan, maka PP No. 22/2022 tidak berlaku lagi dan pelindungan pelaut akan berada di Kemenhub.
Masalahnya, instansi yang satu itu selama ini hampir tidak pernah menawarkan solusi, malah merupakan bagian dari persoalan. Jangankan untuk melindungi pelaut di seberang lautan, yang di pelupuk mata saja sering diabaikan. Mereka terkesan berpihak kepada pengusaha, bukan kepada pelaut setiap kali muncul sengketa antara pelaut versus pengusaha.
Menariknya, pelaut yang menjadi salah satu pemohon JR tadi tahu situasi itu dan pernah berjuang melawannya. Setelah apa yang diperjuangkannya membuahkan hasil, sekarang dia berbalik arah. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Jadi, siapakah pelindung pelaut migran Indonesia? Barangkali rumput yang bergoyang bisa memberikan jawabannya. Entahlah.
*Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin), pengamat maritim Indonesia