Diskusi Universitas Paramadina bertema Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri/Repro
Diplomasi kebijakan luar negeri Indonesia selama 10 tahun terakhir dinilai sudah dijalankan cukup baik. Mulai dari pencapaian prioritas, penguatan diplomasi ekonomi, perlindungan WNI, hingga diplomasi Indonesia bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan dan dunia.
Demikian dipaparkan Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dr. Peni Hanggarini dalam diskusi daring Universitas Paramadina bertema “Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi tentang Politik Luar Negeri”, Kamis (11/1).
Dalam 10 bulan ke depan, Peni berharap pemerintah lebih menekankan
grand strategy diplomasi ekonomi dan meningkatkan peran strategis diaspora Indonesia.
Merujuk perkembangan terkini soal visi-misi calon presiden dan wakil presiden 2024, Peni melihat ada persamaan kebijakan luar negeri yang diusung, yakni mempertahankan prinsip bebas aktif.
"Dari penyampaian visi-misi para capres, terdapat persamaan pada bagian prinsip bebas aktif dan kepentingan nasional sebagai dasar pelaksanaan kebijakan luar negeri dan diplomasi," kata Peni.
Peni lantas mengingatkan adanya tantangan eksternal terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di masa mendatang.
"Seperti dampak rivalitas di Indo-Pasifik, potensi perang berlarut, tantangan terhadap sentralitas ASEAN dan peluang kerja sama organisasi antarkawasan,” tambahnya.
Masih dalam diskusi yang sama, Doktor Ilmu Pertahanan Universitas Pertahanan RI, Dr. Theo L Sambuaga mengurai kelemahan Indonesia sebagai bagian dari ASEAN, yakni dalam setiap keputusan harus diambil berdasarkan konsensus.
Contoh kasus yang dipaparkan oleh Theo yaitu Rohingya, di mana Indonesia dan beberapa negara ASEAN mempunyai prinsip untuk selalu menerima pengungsi Rohingya.
Dalam hal Rohingya, ASEAN tidak pernah bisa mengambil keputusan secara konsensus sehingga selama ini kasus tersebut terabaikan.
Contoh lain yang dipaparkan oleh Theo adalah mengenai Laut Cina Selatan (LCS) karena adanya klaim antara Vietnam, Filiphina, Malaysia, China, dan Indonesia.
“Terakhir China malah mengklaim sebagian ZEE Indonesia sebagai wilayahnya yang ditentang Indonesia dan juga PBB. Karena masalah saling klaim antarnegara, keputusan soal LCS tidak bisa diambil kesepakatan bersama” kritik Theo.