Sidang replik praperadilan yang diajukan Ketua nonaktif KPK, Firli Bahuri melawan Kapolda Metro Jaya/RMOL
Penetapan Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dianggap tidak sah karena menggunakan Laporan Polisi (LP) model A atau LP yang dibuat anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.
Begitu bunyi replik dari pihak tim hukum Firli selaku pemohon praperadilan melawan Kapolda Metro Jaya selaku termohon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (12/12).
"Termohon telah membuat laporan polisi yang salah, serta bertentangan dengan Pasal 3 Ayat 5 Peraturan Kapolri 6/2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Dengan demikian, penetapan tersangka dan tindakan penyidikan yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah," kata salah satu tim hukum Firli, Ishemat Soeria Alam saat membacakan replik atas jawaban termohon, Selasa malam (12/12).
Ishemat mengatakan, Pasal 3 Ayat 5 Perkap 6/2019 secara tegas mengatur bahwa LP model A, yaitu LP yang dibuat anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi. Sedangkan LP model B, yaitu LP yang dibuat anggota Polri atas laporan yang diterima dari masyarakat.
"Bahwa termohon berkali-kali menyatakan dengan tegas di berbagai media, baik media cetak, media online, media elektronik, media televisi serta media-media lainnya, mengenai awal mula dibuatnya Laporan Polisi pada perkara a quo yaitu berdasarkan adanya laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat pada 12 Agustus 2023," terang Ishemat.
Untuk itu kata Ishemat, seharusnya termohon membuat LP dengan model B, bukan LP model A.
"Dengan demikian, telah terjadi kesalahan dalam proses pembuatan Laporan Polisi perkara a quo, karena Laporan Polisi yang dibuat tidak sesuai dan bertentangan dengan Pasal 3 Ayat 5 Perkap 6/2019," tegas Ishemat.
Karena,menurut Ishemat, apabila anggota Polri mengetahui, mengalami, melihat atau menemukan langsung peristiwa hukum, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 Ayat 5 Perkap 6/2019 huruf a, menjadi kewajiban dan kewenangan bagi anggota Polri atau penyidik tersebut untuk melakukan penangkapan, hal tersebut sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 1 angka 19 KUHAP atau yang disebut dengan tertangkap tangan.
"Bahwa terkait dengan tertangkap tangan, maka penyidik atau penyelidik yang mengaku melakukan tangkap tangan, dijadikan saksi dan dalam hal perkara yang disangkakan kepada pemohon, oleh karena Laporan Polisi yang dibuat adalah Laporan Polisi model A, maka penyidik atau penyelidik yang mengaku telah melakukan tangkap tangan tersebut harus dimintai keterangan dan menjadi saksi dalam perkara ini," jelas Ishemat.
Sehingga, apabila bukan peristiwa tangkap tangan melainkan berdasarkan adanya laporan atau pengaduan masyarakat pada 12 Agustus 2023, maka LP model A yang dibuat adalah LP yang salah dan bertentangan dengan Perkap 6/2019.
"Penetapan tersangka dan tindakan penyidikan yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah, karena Laporan Polisi yang dibuat seharusnya adalah Laporan Polisi model B, bukan Laporan Polisi model A," kata Ishemat.
Untuk itu, karena dasar dari dibuatnya Sprindik yang bermuara pada dilakukannya suatu tindakan penyidikan serta penetapan tersangka adalah adanya suatu LP, maka dengan demikian apabila LP yang dibuat adalah LP yang bertentangan dengan Pasal 3 Ayat 5 Perkap 6/2019, maka tentu saja Sprindik, tindakan penyidikan serta penetapan tersangka tersebut adalah tidak sah dan tidak memiliki ketentuan hukum yang mengikat.
"Bahwa oleh karena Laporan Polisi LP/A/91/X/2023/SPKT.DIRESKRIMSUS POLDA METRO JAYA tanggal 9 Oktober 2023 dibuat oleh termohon bertentangan dengan Pasal 3 Ayat 5 Perkap 6/2019, maka sangat beralasan hukum, apabila Majelis Hakim praperadilan menyatakan Laporan Polisi LP/A/91/X/2023/SPKT.DIRESKRIMSUS POLDA METRO JAYA tanggal 9 Oktober 2023 dicabut, tidak sah dan tidak berlaku," pungkas Ishemat.