Dalam sebulan terakhir, nilai kapitalisasi Starbucks terus mengalami penurunan. Disinyalir berkaitan dengan aksi boikot produk Israel yang ramai diperbincangkan di media sosial.
Dikutip dari laporan New York Post pada Sabtu (9/12), nilai kapitalisasi pasar Starbucks menguap hampir 12 miliar dolar AS atau Rp 186,87 triliun selama bulan November.
Ketika pasar dibuka pada awal pekan ini, saham Starbucks turun 1,6 persen. Penurunan bahkan terjadi selama 11 sesi berturut-turut yang merupakan penurunan terpanjang sejak debut Starbucks di publik pada tahun 1992.
"Kemerosotan ini menghapus 9,4 persen nilai pasar Starbucks, atau turun hampir 12 miliar dolar AS," ungkap laporan tersebut.
Banyak yang berspekulasi bahwa penurunan saham Starbucks berkaitan dengan boikot masyarakat terhadap produk-produk asal Amerika Serikat yang memberikan dukungan pada perang Israel di Jalur Gaza.
Terlepas dari upaya Starbucks untuk meredam seruan boikot, tagar #boycottstarbucks masih menjadi tren di media sosial.
Menurut Pusat Kreatif TikTok, tagar tersebut telah digunakan sekitar 16.000 kali selama 30 hari terakhir, da telah dilihat sebanyak 167 juta dalam kurun waktu 30 hari.
Tak sampai di situ, Starbucks juga dihadapkan dengan persoalan rendahnya daya beli kosumen dan perselisihan tenaga kerja.
Analis JPMorgan menyebut investor semakin khawatir bahwa konsumen akan enggan membeli minuman mahal selama musim liburan ketika anggaran semakin banyak dikeluarkan.
"Ini mengisyaratkan perlambatan material di Starbucks," ungkap laporan tersebut.
Sebelumnya, pekerja Starbucks melakukan aksi mogok kerja dan menuntut penambahan staf dan jadwal.
Aksi protes tersebut bukanlah yang pertama dari perselisihan Starbucks dengan serikat pekerja Workers United.
Bulan lalu, setelah Workers United mempublikasikan pernyataan kontroversial "Solidaritas dengan Palestina!" dalam postingan yang telah dihapus di X, Starbucks dengan cepat menjauhkan diri dari organisasi tersebut.
"Kami dengan tegas mengutuk tindakan terorisme, kebencian dan kekerasan, serta tidak setuju dengan pernyataan dan pandangan yang diungkapkan oleh Workers United dan anggotanya. Perkataan dan tindakan Workers United adalah milik mereka, dan mereka sendiri," kata Starbucks saat itu.
Tanggapan tersebut ditafsirkan sebagai bentuk dukungan terhadap Israel atas Palestina, sehingga memicu seruan boikot.