"Mau memilih Anies, silakan. Mau memilih Prabowo, silakan. Mau memilih Ganjar juga silakan…..". Ini kutipan sambutan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka Kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) XXXII di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, pada Jumat (24/11).
PESAN yang terlontar itu penuh makna, terang, dan gamblang. Pilpres 2024 adalah manifestasi kedaulatan rakyat melalui mekanisme demokrasi elektoral, mengikuti kalender politik lima tahunan. Tentu rakyat bebas memilih pemimpin berdasarkan preferensinya tanpa tekanan dari pihak manapun. Itulah salah satu contoh konkret mengenai independensi.
Berbeda pilihan politik, hukumnya halal di alam demokrasi. Yang haram adalah bermain curang. Muara dari kompetisi elektoral mesti terpancar imaji kolektif untuk mewujudkan Indonesia Emas ataupun Indonesia Unggul 2045. Pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mesti diprasangkai sebagai putra-putra bangsa terbaik dengan sekian kekuatan dan kelemahan yang melingkupinya.
Seturut itu, HMI dengan segenap potensi dan sumber daya yang atraktif, pasti dilirik oleh kandidat mana pun. Mulai dari perhelatan Pilkada, terlebih sekelas Pilpres. Maka HMI perlu menjaga independensi dan netralitasnya. Setiap kader HMI bebas memilih siapa pun yang berlaga dalam kenduri demokrasi 2024, namun wajib bersikap independen secara organisatoris.
Bahkan secara etis, perilaku kader HMI, apalagi pucuk pimpinan tidak boleh terjebak dalam kubangan cawe-cawe permainan politik praktis. Apalagi mengeksploitasi label HMI untuk memenuhi libido kekuasaan lewat bisnis mobilisasi massa. HMI hanya tegak lurus pada konstitusi, berpihak pada nilai-nilai kebajikan universal, bukan berkarakter kultus personalistik. Dengan cara itu, wibawa dan kohesi sosial HMI secara horizontal dan vertikal senantiasa terjaga.
Yoshi Purnomo dalam disertasinya bertajuk “Is Political Islam a work in progress? From Islamic Social Movement to Substantive Political Islam: The Political Trajectory of Himpunan Mahasiswa Islam” (University of New South Wales, Australia, 2017) menganalisis lintasan politik HMI melalui pendekatan gerakan sosial, setidaknya selama 30 tahun terakhir, alumni HMI menjadi aktor politik paling berpengaruh dalam kehidupan politik Indonesia. HMI telah berhasil menyusupkan alumninya ke dalam koridor kekuasaan -- termasuk tentara, birokrasi, partai politik, dan pemerintahan sehingga terjadi ‘santrifikasi’ kehidupan politik di Indonesia.
Seperti diketahui bersama, latar belakang anggota dan kader organisasi yang dibidani oleh Lafran Pane ini sangat heterogen. Mereka yang identik dengan slogan ‘Yakusa’ itu berdiaspora, dan tersebar di ketiga kubu kandidat capres-cawapres. Secara faktual, parpol yang berhaluan nasionalis maupun agamis banyak dilapisi oleh alumni HMI. Begitu pula ormas NU dan Muhammadiyah, tidak sulit menemukan jejaring Hijau-Hitam.
Dalam kondisi teranyar, suhu udara politik menuju Pilpres 2024 sedang hangat dengan rupa-rupa gimik politik yang bertaburan di ruang publik. Parpol terus bergeliat menggelar kampanye penggalangan opini maupun massa di lapangan. Basis intelektualitas yang
inheren dalam tubuh HMI tidak boleh direduksi hanya sekadar menjadi ‘pasar elektoral murahan’ yang jauh dari Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP).
Mencermati afiliasi politik alumni HMI terhadap blok politik yang bertanding saat ini, tentu layak diapresiasi manakala mereka menginjeksi gagasan programatik kepada sosok yang didukungnya. Menariknya, aspirasi politik yang mengemuka di kalangan komunitas Hijau-Hitam cukup variatif.
Perbedaan mazhab pemikiran dan orientasi politik bukan sesuatu yang asing di HMI. Kultur yang terbangun cukup demokratis dan egaliter. Tradisi berdemokrasi ini mesti dilestarikan dalam gelanggang pertarungan politik di mana saja tanpa fanatisme buta dan surplus perasaan. Pada titik tertentu, ikatan historis-emosional antara kader dengan alumni HMI atau KAHMI, merupakan sesuatu yang sulit dimungkiri, bahkan cenderung beraliansi.
Yang utama, pola relasi yang terbangun adalah pertukaran gagasan, proyeksi perkaderan organisasi, dan pemajuan SDM. Politik bukan melulu perkara kursi kekuasaan yang profan, transaksi politik jangka pendek atau ‘menyembah’ sosok, tetapi bagaimana keberpihakan terhadap rakyat kecil dan kaum yang tersingkir akibat penindasan struktural. Bung Karno berkata: “Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin”.
Kita bisa menyerap keteladanan memimpin dari Agus Salim yang begitu tegar, bersahaja, dan tahan banting dari ujian yang bertubi-tubi. Leiden is lijden, memimpin itu menderita. Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul
Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita (Prisma No 8, Agustus 1977).
Oleh karena itu, HMI harus dikembalikan ke khitahnya sesuai jati diri organisasi. Kita merindukan fase-fase ketika HMI dilahirkan di Yogyakarta yang penuh dengan ketegasan soal prinsip, kematangan tentang visi-misi, dan konsistensi mengenai makna sebuah perjuangan. Dengan demikian, visi-misi ke depan mesti melampaui urusan perebutan kuasa.
Kini masyarakat Indonesia adalah aktor terbesar demokrasi di negara-negara muslim. Mengutip terminologi Chamad Hojin, generasi muslim baru bukan lagi sebagai mualaf demokrasi (pemeluk dan pengimplementasi nilai-nilai demokrasi) tetapi mereka kini sudah masuk kategori mukalaf demokrasi (mampu mengamalkan dan mengetahui konsekuensi prinsip-prinsip demokrasi).
Narasi kemajuan Indonesia mesti disambut dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan kapasitas diri, maupun percakapan produktif bagaimana menumbuhkan demokrasi substansial, melampaui perkara prosedur dan elektoralisme semata. Kita harus terbiasa memuliakan orang yang berprestasi atas dasar meritokrasi, bukan familikrasi.
Dalam konteks ini, perkaderan terus diperbaharui secara substantif dan teknis-metodologis sesuai gegap-gempita zaman, sehingga lahir kader yang penuh dedikasi untuk umat dan bangsa. Sebagai organisasi yang memproduksi intelektual, atensi terhadap dialektika pemikiran sangat fundamental, kemudian diikuti dengan upaya terus-menerus merawat tradisi membaca, menulis, diskusi, dan berwatak ilmiah dalam rangka meneguhkan perjuangan HMI.
Kader HMI yang berprestasi di berbagai bidang perlu dibuatkan kanalisasi agar mereka dapat mengekspresikan ide-ide dan gagasannya secara konstruktif, produktif, dan terarah. Ikhtiar membangun Indonesia Emas 2045 sulit terwujud manakala anak-anak bangsa mempertahankan ego sektoral dan jebakan sektarian.
Ketika ketegangan politik asasinasi berkecamuk, kekerasan atas nama agama dan nasionalisme sempit mengedepan, chauvinisme membahana, dan provokasi brutal memenuhi kanal media sosial, maka komitmen kebangsaan perlu ditajamkan kembali. Warisan Nurcholish Madjid berupa keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan akan selalu relevan dalam membaca kondisi bangsa dan negara yang sewaktu-waktu bisa meledak akibat polarisasi ekstrem.
Karena itu, HMI dapat menjadi pionir kolaborasi lintas batas bersama segenap elemen kaum muda. Sebagai gerakan mahasiswa yang tertua dan terbesar di negeri ini, HMI wajib hadir dan melibati diri dalam mengatasi setiap kemelut bangsa di tengah turbulensi global yang kian pekat. Pesta demokrasi 2024 tak lama lagi digelar. Diaspora KAHMI diharapkan berperan strategis sebagai jangkar utama demokrasi, dan HMI tetap menjaga independensinya, selalu berpijak pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, guna merawat ibu pertiwi dan zamrud khatulistiwa.
Penulis adalah calon Ketua Umum PB HMI Periode 2023-2025