Ilustrasi Tugu Yogyakarta/Net
Komentar politikus PSI, Ade Armando, yang menyebut politik dinasti terjadi di Jogja untuk mengkonter majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendapat respons keras dari aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Yogyakarta, Muhammad Fais Hakim Rasyid.
Menurut Fais, komentar Ade Armando yang menyamakan isu politik dinasti yang dilekatkan pada Gibran Rakabuming Raka dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah sesat pikir. Pasalnya, menurut Fais, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi daerah istimewa yang berbentuk Kesultanan merupakan warisan sejarah dan dikukuhkan melalui proses yang demokratis.
Tidak bisa disamakan dengan Gibran yang maju karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengandung intervensi kekuasaan, konflik kepentingan, dan pelanggaran etik berat.
“Keistimewaan DIY itu merujuk pada sejarah. Mulai dari kontribusi Sultan HB IX sampai pada Piagam 19 Agustus 1945 yang diberikan Bung Karno pada Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,” jelas Fais, Senin (4/12).
Fais yang merupakan aktivis kelahiran Jogja sangat keberatan Ade Armando menyamakan posisi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Fais pun menjelaskan, tepat 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII menyatakan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Amanat 5 September 1945 ini kemudian dibalas Bung Karno dengan Piagam 19 Agustus 1945 yang merupakan bentuk penghargaan atas bergabungnya Yogyakarta dengan NKRI. Piagam yang ditandatangani Presiden Soekarno ini sekaligus memperkuat kedudukan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dalam memimpin Yogyakarta.
“Menyamakan majunya Gibran dengan Keistimewaan Yogyakarta itu pelecehan besar. Ada peran sejarah yang membuat Jogja menjadi daerah istimewa. Tidak ada penyelundupan Hukum seperti putusan MK yang untungkan Gibran,” tegas Fais.
Selain itu, menurut Fais, penetapan Keistimewaan Yogyakarta dilakukan melalui proses yang demokratis di DPR yang melibatkan semua komponen masyarakat. Mulai dari Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi II DPR RI, hingga terjadi dialog antara parlemen dengan pemerintah dan masyarakat.
Berbeda dengan majunya Gibran Rakabuming Raka yang syarat nepotisme, konflik kepentingan, dan penyelundupan hukum di MK.
“Keistimewaan Jogja bukan keinginan Ngarso Dalem. Tapi penghargaan dari pendiri bangsa. Ngarso Dalem juga tidak punya paman di MK. UU Keistimewaan itu aspirasi masyarakat Jogja dan diputus melalui DPR,” ungkap Fais
Dengan adanya kejadian ini, Fais meminta masyarakat DIY untuk berhati-hati memilih pemimpin bangsa ke depan. Fais menyarankan masyarakat DIY untuk tidak memilih pemimpin yang tidak menghargai kontribusi dan sejarah peranan masyarakat Jogja untuk keutuhan NKRI.
Sebab, pemimpin yang tidak menghormati dan menghargai sejarah kontribusi masyarakat Jogja maka dia akan mudah berkhianat terhadap mereka yang dulu berjasa membesarkannya.
“Mereka tidak menghormati kontribusi Jogja untuk NKRI. Kemarin MK anda kangkangi, sekarang Jogja anda lecehkan. Sewenang-wenang sekali kekuasaan hari ini. Padahal HB IX itu berpesan Tahta untuk rakyat,” tutup Fais.