Firli Bahuri ketika berziarah ke makam Ibundanya beberapa waktu lalu./Ist
UMUR 5 tahun Ayahanda meninggal dunia, tiba-tiba saja jadi anak
yatim. Jadi bungsu dari 6 bersaudara dengan Ibunda otomatis berperan
ganda sebagai Ibu sekaligus Ayah.
Umur
7 tahun masuk Sekolah Dasar (SD) Negeri Lontar Kecamatan Pengandonan,
Kabupaten OKU, Sumsel. Hari pertama sekolah jalan kaki tanpa sepatu.
Berlanjut hari-hari seterusnya sampai tamat alias selama sekolah di SD
tidak pernah pakai sepatu ke sekolah.
Jajan
pada jam istirahat? Jangan ditanya tentang itu, bisa dikatakan sama
sekali tidak pernah. Jualan iya, jualan kue. Kue tradisional yang
dibuat kakak perempuan.
Bahan baku kue
tidak beli. Didapat dari hasil barter ikan rawa tangkapan. Setelah
ikan rawa ditangkap dibawa ke pasar 16 Ilir Palembang lalu dibarter
dengan bahan baku makanan khas Palembang dengan sebutan pepes Ketan.
Kue pepes bahan bakunya beras ketan, pisang, kelapa dan gula merah.
Selanjutnya dibungkus daun pisang dan dimasak dengan cara dikukus.
Setelah jadi, dijual keliling di Taman Ria Sriwijaya.
Jualan
spidol juga. Untuk menghemat, pergi beli spidolnya jalan kaki.
Lumayan menghemat Rp. 35 (tiga puluh lima rupiah). Kalau ndak jalan
kaki butuh biaya Rp. 40 (empat puluh rupiah).
Untuk
apa yang Rp. 5 (lima rupiah)? Untuk jajan minum es cendol segelas
kecil plus pempek kecil sepotong di tengah perjalanan beli spidol.
Tamat
SD masuk SMP, jalan kaki pulang pergi 16 km setiap hari ke lokasi SMP
berada. Dan itu tetap tidak pakai sepatu, tidak ada uang untuk beli
sepatu.
Melanjutkan SMA di Pelembang.
Pakai sepatu. Sepatu jelek tentunya. Jelek sekali sebenarnya. Saking
jeleknya, waktu ketemu sepatu orang lain yang sudah dibuang ke tong
sampah kelihatan begitu bagusnya.
Dipungutlah
oleh Firli remaja sepatu di tong sampah itu. Dibersihkan semampunya.
Dilap agar kelihatan mengkilap. Besoknya serasa gagah ke sekolah pakai
sepatu tong sampah tersebut.
Eh baru dipakai, ada yang mengakui kalau sepatu itu miliknya. Diserahkan. Kembali pakai sepatu lama.
Di
hadapan orang, air mata jatuh ke dalam kata orang Padang, sebagai
ungkapan rasa kepedihan dan kepiluan tak terhingga yang hanya bisa
ditahan sendirian dan dijadikan cambuk pemacu semangat di dalam dada.
Di
sudut perpustakaan sekolah, tempat menghabiskan waktu selama jam
istirahat setiap hari, tak terasa buku yang dibaca basah kena tetesan
air, agak banyak basahnya.
Ternyata itu
tetesan air mata yang tak akan pernah terlupakan seumur hidup oleh
seorang yang kelak di pundaknya bertengger 3 bintang emas tanda
perwira tinggi, Kabaharkam Polri, Komisaris Jenderal Polisi Firli
Bahuri. Dan kini Ketua KPK RI Priode 2019-2023.
Sebagaimana
dituturkan langsung beliau kepada penulis pada suatu waktu. Penulis
adalah partner pada Kantor Hukum E.S.H.A dan Partners dan Wakil Ketua
Komisi Informasi Pusat RI periode 2017-2022