Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Arjuna Putra Aldino/Istimewa
Program makan siang dan susu gratis untuk anak dan ibu hamil yang dicanangkan Prabowo-Gibran disebut-sebut butuh anggaran Rp400 triliun per tahun. Hal itu memicu kritik masyarakat, karena bakal mengambil alih anggaran program lain.
Seperti dijelaskan Sekretaris Jenderal Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Nusron Wahid, sumber dana ratusan triliun itu akan didapat dari pengalihan dana-dana di sejumlah pos APBN.
"Sumbernya ya dari refocusing dan realokasi uang fungsi pendidikan, perlindungan sosial, dan dana kesehatan. Tergantung segmentasi orang bersangkutan," tutur Nusron, di Jakarta, Selasa (28/11).
Salah satu pihak yang tidak setuju program itu adalah Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Arjuna Putra Aldino, karena program makan siang dan minum susu gratis membuat refocusing dan realokasi anggaran fungsi pendidikan, perlindungan sosial dan dana kesehatan.
Pasalnya, menurut Arjuna, program bantuan pendidikan, perlindungan sosial dan kesehatan seperti KIS, KIP, BPJS, dan PKH banyak memberi manfaat untuk masyarakat kalangan bawah yang masih perlu bantuan. Apalagi jika dilaksanakan dengan baik, dengan program itu bisa meningkatkan taraf hidup mereka.
“Kalau untuk membiayai program makan siang dan minum susu gratis dengan refocusing dan realokasi uang fungsi pendidikan, perlindungan sosial, dan dana kesehatan, maka program seperti KIS, KIP, BPJS, dan PKH bakal dihapus dong. Padahal itu sangat bermanfaat untuk wong cilik,” beber Arjuna, di Jakarta, Rabu (29/11).
Ketidaksetujuan itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, berdasar data BPS, pada Maret 2023 ada 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia. Mayoritas rumah tangga miskin itu memiliki tingkat pendidikan rendah. Rata-rata rumah tangga miskin memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.
Rinciannya, rumah tangga miskin yang tidak tamat SD memiliki sebesar 29,86 persen. Kemudian, rumah tangga miskin lulusan SD sebesar 37,74 persen. Hanya, 1,81 persen rumah tangga miskin lulusan perguruan tinggi.
“Terutama soal pendidikan. Bagi rumah tangga miskin ini sangat penting untuk mengangkat derajat hidup mereka. Jika hanya diganti untuk makan siang dan minum susu gratis apa gunanya? Sangat membodohkan,” kritik Arjuna.
Begitu juga soal kesehatan. Menurut Arjuna, banyak warga miskin yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, hanya 60,22 persen penduduk sangat miskin dan 64,24 persen penduduk miskin memiliki jaminan kesehatan pada 2021. Angka ini timpang dengan kepemilikan jaminan kesehatan penduduk terkaya yang rata-rata sudah di atas 70 persen.
Dengan dihapusnya anggaran bantuan kesehatan bagi masyarakat miskin dan dialihkan untuk program makan siang dan minum susu gratis maka masyarakat miskin tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
“Hari ini saja banyak warga miskin yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Apalagi jika bantuannya dihapus diganti makan siang dan minum susu gratis. Banyak masyarakat miskin yang akhirnya tidak bisa berobat jika sakit karena mahal,” tutur Arjuna
Arjuna menambahkan, jika terjadi refocusing dan realokasi anggaran fungsi pendidikan, perlindungan sosial, dan dana kesehatan hanya untuk makan siang dan minum gratis, maka angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia bisa turun drastis.
Menurut Arjuna, program makan siang dan minum susu gratis tidak membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Melainkan hanya menguntungkan para pemegang tender penyedia makanan dan susu semata. Apalagi jika program ini diterapkan skala nasional. Maka keuntungannya bisa berlipat ganda.
“Program ini hanya menguntungkan pemegang tender makanan dan susu. Misalnya menguntungkan mereka yang punya peternakan sapi perah, seperti Tapos. Tapos inikan punya Soeharto, mertua Prabowo. Misalnya seperti itu,” tutup Arjuna.