Legislator Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia Tanjung/Ist
Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung sepakat perubahan syarat batas usia Capres-Cawapres dilakukan oleh pembentuk UU agar memiliki banyak waktu menyerap aspirasi masyarakat, ketimbang melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki waktu yang singkat.
Hal itu disampaikannya dalam acara Diskusi Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita berjudul "Mahkamah Konstitusi dan Usia Calon Presiden/Wakil Presiden" melalui virtual, Minggu malam (27/8).
Doli biasa akrab disapa mengatakan, dirinya secara pribadi setuju adanya ide tentang menurunkan batas umur Capres-Cawapres.
"Saya secara pribadi setuju. Karena apa? karena memang tentu negara kita ini berkembang terus maju ya, kemudian banyak melahirkan tokoh-tokoh, kader-kader yang memang karena kemajuan pendidikan kita salah satu kemajuan dari pembangunan ini tentu batas usia produktif itu semakin banyak," ujar Doli.
Namun, disayangkan gagasan tersebut disampaikan pada situasi dinamika politik yang sangat tinggi, yakni menjelang berlangsungnya Pemilu pada 2024 nanti.
"Bahkan terasa sangat dinamis ketika ada yang mengusulkan penurunan batas minimal, baru-baru ini ada juga yang mengajukan agar batas atasnya ditentukan juga, ya ada kan kemarin 3 hari yang lalu ada yang mau mengusulkan batasnya 70 tahun. Nah jadi ini yang menimbulkan persepsi-persepsi politik akhirnya," bebernya.
Mantan Ketum KNPI itu mencatat, terdapat tiga kali gugatan atau Judicial Review (JR) yang terjadi soal UU Pemilu, yakni soal sistem proporsional terbuka atau tertutup, ambang batas pencalonan presiden, dan saat ini soal batas usia minimal Capres-Cawapres.
"Nah dua kasus yang sebelum ini, baik itu sistem terbuka dan tertutup, dan kemudian soal Presidential Threshold, itu MK memutuskan bahwa itu diserahkan kepada pembentuk UU. Jadi dimasukkan kategori
open legal policy," terangnya.
Sehingga kata Doli, jika ada perubahan dalam UU, maka sebaiknya dilakukan perubahan oleh pembentukan UU, yakni DPR dan pemerintah.
"Nah kenapa DPR dan pemerintah? kalau diserahkan pada pembuat UU atau pembentuk UU, kita masih punya waktu yang cukup untuk mendiskusikannya secara mendalam, apa perubahan-perubahan yang penting, dan kenapa kita harus melakukan perubahan itu," jelas dia.
Legislator Fraksi Golkar itu mengaku, dalam kondisi Indonesia yang semakin maju, seharusnya para pemimpin bangsa berusia muda. Apalagi, terdapat perspektif psikologi bahwa seseorang berusia 35-40 tahun memiliki
performance yang baik.
"Saya sepakat kalaupun ada perubahan termasuk soal batas umur ini, itu sebaiknya memang dikembalikan kepada pembentuk UU, sehingga kita harus mendiskusikannya secara mendalam, sehingga putusan itu putusan yang terbaik, setidaknya untuk 15, 20, 30 tahun yang akan datang," tuturnya.
Mengingat kata dia, selama ini selalu terjadi perdebatan untuk melakukan perubahan UU Pemilu ketika mendekati waktu-waktu Pemilu berlangsung.
"Nah kalau setiap mau pemilu ada beberapa kali Judicial Review, itu kan berarti UU-nya tambal sulam. Dan itu saya kira nanti menjadi UU yang tidak sistematik, UU yang bisa mengganggu tentang visi ke depan pembangunan politik kita dan pemerintahan kita," pungkas Doli.