Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar/RMOL
Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) akhirnya mendukung calon presiden dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), Prabowo Subianto.
Dukungan dua partai koalisi pemerintah itu dinilai sebagai wujud terbentuknya koalisi besar yang sempat diumumkan Gerindra, PKB, PAN dan Golkar, saat sowan ke DPP PAN, beberapa waktu lalu, di hadapan Presiden Joko Widodo.
Artinya, koalisi besar memang disiapkan Presiden Jokowi untuk mendulang dukungan kepada Prabowo Subianto.
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Dedi Kurnia Syah, justru menyayangkan langkah Golkar dan PAN berlabuh ke Prabowo Subianto, padahal memiliki tokoh internal yang mumpuni yang mampu menjadi Capres.
“Amat disayangkan, sebenarnya koalisi keduanya cukup untuk mengusung kandidat sendiri, tetapi justru gabung dukung Prabowo, sehingga Golkar kehilangan peluang mengusung kader, untuk Cawapres sekalipun,” kata Dedi, kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (13/8).
Menurutnya, dengan dukungan Golkar untuk Prabowo, dapat diartikan bahwa pengaruh Presiden Joko Widodo sangat kuat dalam pembentukan koalisi besar itu.
“Itu menyiratkan tafsir bahwa Jokowi masih cukup kuat mempengaruhi Golkar, termasuk PAN,” katanya.
Dia pun mengurai dua tanda bahwa koalisi besar itu hasil pengaruh Joko Widodo. Pertama, amanat Munas Golkar memutuskan Airlangga Capres, meski bisa saja tak tercapai.
“Tetapi, dengan adanya PAN di KIB, memungkinkan mereka usung sendiri kandidatnya di Pilpres,” imbuhnya.
Kedua, Jokowi banyak menandai perilaku dukungan pada Prabowo, bahkan sudah melibatkan relawan dan Gibran.
“Maka, putusan merapat ke Prabowo bisa saja karena faktor Jokowi,” tutupnya.