RABU kemarin (9/8/2023), berita ditangkapnya mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Ir. Ridwan Djamaluddin (RD) yang juga Ketua Umum Ikatan Alumni ITB periode 2016-2020 dalam kasus korupsi blok tambang Mandiodo menimbulkan reaksi beragam di kalangan alumni ITB.
Sebagian dari mereka tidak terlalu terkejut karena sebelumnya Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto (SM) yang juga mantan anak buah RD di Dirjen Minerba sudah ditahan Kejagung atas kasus yang sama.
Namun sikap sebagian besar alumni ITB tentu saja sangat kecewa dengan dugaan tindak pidana korupsi yang menimpa salah satu tokoh nasional dari alumni ITB.
Belum usai dengan kasus korupsi pengadaan BTS yang menyebabkan dua alumni bagian dari Pengurus Pusat IA-ITB, yaitu MYM dan AAL menjadi tersangka, ini ditambah dengan RD yang sekarang menjabat Ketua Dewan Pengawas IA-ITB periode 2021-2025. Artinya sudah tiga pejabat teras IA-ITB yang dianggap terlibat kasus korupsi.
Senior dan salah satu guru kader-kader aktivis mahasiswa ITB, Dr. Syahganda Nainggolan telah memaparkan dengan baik situasi ini dengan artikelnya ‘
Alumni ITB Hitam Mampus, Alumni Putih Tetap Berjuang’.
Syahganda sendiri dalam sejarah aktivis pro-demokrasi sudah dua kali ditahan rezim penguasa NKRI akibat perlawanannya terhadap ketidakadilan, pertama pada masa Orde Baru dan kedua pada masa rezim Joko Widodo.
Syahganda menulis bagaimana RD yang merupakan aktivis senior dan populer di Student Center ITB, ikut dalam aksi menyambut kedatangan Presiden Perancis Francois Mitterand dengan memegang spanduk mengkritik kebijakan devaluasi rupiah terhadap dolar AS.
Aksi mahasiswa ITB hari Rabu 17 September 1986 menyambut Presiden Mitterand itu sebenarnya dipimpin oleh Syahganda bersama teman-temannya.
Mereka melakukan aksi potong kepala bebek, sebagai simbol bunuh diri mahasiswa yang harus membebek jika hendak lancar jalannya menjadi kelas teknokrat (istilah kaum intelektual bagian dari Orde Baru pada masa itu), namun memilih memihak pada rakyat yang ditindas oleh kebijakan pembangunan ala Orde Baru.
Jadi dapat disimpulkan dalam aksi menyambut Mitterand tersebut, RD hanya menumpang memasangkan spanduk saja dalam aksi potong kepala bebek yang dipimpin Syahganda.
Syahganda dan teman-temannya kemudian memimpin satu bentuk gerakan mahasiswa yang berbeda dari sebelumnya selalu mengangkat isu elite menjadi isu advokasi ‘Tanah Untuk Rakyat’ yang dikenang dengan aksi
longmarch Bandung-Badega, Kacapiring, Cimacan, Kedungombo dan lain sebagainya.
Syahganda menempuh jalan kehidupan menjadi aktivis pro demokrasi hingga detik ini, sementara RD setelah lulus menempuh jalur profesional dengan berkarir sebagai PNS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi hingga menjadi Deputi Kepala BPPT, kemudian Deputi Kemenko Maritim hingga Dirjen Minerba ESDM dan Pejabat Gubernur Bangka-Belitung.
Syahganda tetap melawan rezim kekuasaan yang zalim, sementara RD menjadi profesional yang terlihat baik-baik saja hingga kemudian terlibat kasus korupsi.
Kaum Profesional dan KorupsiDalam spektrum lebih luas, kasus korupsi pertambangan blok Mandiodo dan pengadaan BTS ini menambah panjang deretan kelompok profesional yang terlibat kasus korupsi, yang tidak hanya melibatkan kaum profesional dari alumni ITB saja.
Kaum profesional baik dari kalangan birokrat yang perlahan meningkatkan karir melalui peningkatan jabatan, maupun yang bergiat menjadi pengusaha (entrepreneur) pada masa Orde Baru memiliki kedudukan politik tinggi karena dapat menjadi bagian dari rezim penguasa jika memiliki rekam jejak baik dalam profesinya dan tidak pernah terlibat aktivitas politik terlarang menurut kaca mata penguasa.
Namun, sistem hukum hari ini yang penuh ketidakpastian memperbesar peluang terlibatnya profesional dengan korupsi. Jika korupsi pada masa Orde Baru berkaitan erat dengan nepotisme, maka korupsi pada masa Orde Reformasi semakin meluas ditunjukkan dengan semakin turunnya Indeks Persepsi Korupsi pada era Rezim Jokowi.
Banyak orang mengatakan, hampir tidak mungkin seorang pengusaha tidak memberikan suap (gratifikasi) jika memenangkan lelang proyek negara untuk pengadaan barang dan jasa di sektor apa pun, dan hampir tidak ada pejabat kuasa pemegang anggaran (KPA) yang tidak mendapat
kickback fee dari baik dari perizinan maupun jatah proyek-proyek negara tersebut.
Dengan kata lain, pengusaha dan pejabat KPA seperti menunggu giliran dipanggil oleh Kejagung atau KPK dalam kasus korupsi.
Lebih parah lagi, dalam korupsi politik sebagaimana dijelaskan Romahurmuziy, alumni ITB yang dipenjara karena kasus korupsi lelang jabatan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur saat menjabat Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, hampir seluruh ketua umum partai politik yang anggota-anggotanya ikut terlibat dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran (RKA) negara sewaktu-waktu dapat diseret karena kasus korupsi.
Sedemikian parahnya kasus korupsi di NKRI semasa Reformasi, hingga kepala daerah sebuah provinsi yang begitu kaya akan sumber daya alam sebanyak tiga kali atau
hattrick ditangkap atas kasus korupsi atau, dan tentu saja melibatkan para pejabat KPA dan pengusaha yang mendapatkan kontrak proyeknya.
Profesionalisme yang diidentikkan sebagian orang dengan sikap jujur, kinerja tepat waktu serta bersih dari korupsi menjadi tercoreng dengan kaum profesional yang terindikasi secara hukum memperkaya diri sendiri dengan mencuri uang rakyat dan merugikan negara.
Ternyata korupsi tidak hanya dilakukan oleh para politisi, tetapi juga menjangkiti kaum profesional baik pejabat karir maupun para pengusaha.
Korupsi dan PatrimonialismePenyebab utama suburnya korupsi di dunia politik dan profesional pada era Reformasi tentu saja akibat tidak adanya perubahan budaya politik subjek menjadi partisipan. Reformasi yang seharusnya ditandai dengan konsolidasi demokrasi dan menguatnya
civil society, justru dipimpin oleh orang-orang yang tidak berkomitmen pada demokrasi.
Jika kehidupan pseudo-demokrasi era Orde Baru terkonsentrasi pada satu patron politik yaitu Soeharto, maka kehidupan demokrasi era Reformasi dibajak oleh kepemimpinan patrimonialistik.
Max Weber menjelaskan patrimonialisme sebagai penyelenggaraan kekuasaan negara dengan loyalitas pada pribadi sang penguasa, tidak didasarkan pada loyalitas pada aturan hukum dan rutinitas yang ia beri nama sebagai birokratisme.
Kontrol terhadap kekuasaan tidak berjalan maksimal melalui trias politica dan dari kekuatan sosial, para patron saling mengunci satu sama lain agar tidak saling menjatuhkan dan baru berseteru jika ada usaha dari satu patron untuk menaklukkan patron lainnya.
Maka dalam kasus korupsi yang menimpa RD dan alumni-alumni ITB serta kaum profesional lainnya tidak dapat dilepaskan dari perseteruan antara patron politik yang berporos pada Presiden Jokowi yang memiliki hubungan pasang surut dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, walaupun secara politik PDIP akan pasang badan terhadap siapa saja yang mencoba menggoyang rezim Jokowi.
RD menjadi pejabat eselon satu di Kementerian ESDM pada tahun 2020 tidak dapat dilepaskan dari dukungan sebagian alumni ITB dalam pencalonan Jokowi sebagai presiden dalam Pemilu 2014, manuver dari mereka yang menolak pencalonan mantan Ketua Umum IA-ITB Hatta Rajasa yang juga Menko Perekonomian 2009-2014 sebagai Calon Wapres pasangan Prabowo Subianto.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel penulis sebelumnya ‘Jokowi dan Para Relawannya’, RD adalah satu kelompok aktivis Student Center ITB yang dikader oleh Hendardi seorang aktivis hukum dan HAM.
Mereka beramai-ramai memutuskan mendukung Jokowi. Kader-kader Hendardi di Student Center ITB menduduki jabatan penting di rezim Jokowi, antara lain Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet, Fadjroel Rachman sebagai Juru Bicara Presiden, dan RD sebagai Dirjen Minerba.
Dengan demikian, patron politik kelompok alumni ITB ini adalah Pramono Anung yang jabatannya paling dekat dengan Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Sekretaris Kabinet. Peranan Pramono Anung sangat besar dalam peningkatan karier RD sebagai birokrat yang lama berkarir di BPPT, dan diduga berperan penting menjadi RD sebagai Dirjen Minerba.
Kabar burung yang beredar adalah sebenarnya RD hanya masuk tiga besar dalam lelang jabatan Dirjen Minerba, namun lingkaran perkawanan dengan istana menjadikan RD yang pernah menjadi anak buah Menko Maritim saat dijabat Rizal Ramli dan Luhut Pandjaitan menjadi Dirjen Minerba.
Namun sampai saat ini, kita belum mengetahui dengan pasti siapa yang diuntungkan dengan kerugian uang negara sebesar Rp5,7 triliun hasil dari peraturan Dirjen Minerba yang memudahkan perizinan tambang nikel tersebut di Blok Mandiodo.
Yang pasti, kekuatan politik kelompok alumni ITB cukup kuat, dibuktikan saat mereka menggembosi Petisi 1000 Alumni ITB Tolak Reklamasi Teluk Jakarta. Petisi tersebut bergulir sedemikian hebat sehingga alumni kampus lainnya di Jakarta ikut bergabung dalam gerakan Tolak Reklamasi Teluk Jakarta pada pertengahan tahun 2016.
Alih-alih membiarkan teman-temannya sesama alumni ITB dengan giat menolak reklamasi yang tidak memihak kepentingan rakyat, RD sebagai Ketua Umum IA-ITB saat itu justru mengeluarkan surat edaran yang secara tegas menolak eksistensi ribuan alumni ITB yang melawan kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta.
PenutupApa pun perkembangan dari kasus ini, kita sebagai kaum terpelajar yang diajarkan kejujuran di lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tentu sangat malu dengan kasus korupsi kaum profesional. Makna profesionalisme menyempit dari bekerja dengan benar sesuai aturan menjadi bekerja dengan benar menurut kemauan patron politik.
Mengharapkan institusi ITB untuk secara tegas bersikap terhadap perilaku tak bermoral para alumni tentu merupakan hal yang sangat sulit.
Rektor ITB hari ini adalah hasil dorongan kelompok alumni yang berada di lingkaran kekuasaan, yang alih-alih berupaya menyusun kebijakan pembangunan yang memihak kepentingan rakyat justru menggalang Gerakan Anti Radikalisme (GAR) yang aktivitasnya hanya menggembosi alumni dan mahasiswa ITB yang masih peduli dengan penderitaan rakyat.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa salah satu nama tersangka kasus korupsi terpampang dalam
Hall of Fame di anak tangga Campus Center ITB.
Sebenarnya kita bisa saja mendirikan
Hall of Shame untuk para alumni yang terlibat kasus korupsi, entah berupa patung atau instalasi lainnya di kampus, agar adik-adik mahasiswa dapat belajar dari kesalahan senior-seniornya yang lebih mengutamakan kepentingan patron politiknya dengan memilih menjadi pencuri uang rakyat.
*Pengamat Politik dan Kebijakan Publik; Alumni ITB