Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto/Net
Rencana Pemerintah melakukan ekspor listrik energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura, dikritik wakil rakyat di DPR RI. Kebijakan itu, dipandang tidak relevan dengan kerangka strategi ketahanan energi nasional.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengatakan, saat ini bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam negeri saja masih jauh dari target. Karena itu, sangat aneh bila Pemerintah terburu-buru melakukan ekspor ke negara lain.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga EBT baru mencapai 12,73 gigawatt (GW) atau 15 persen dari total pembangkit sebesar 84,8 GW per semester I tahun 2023.
Kata Mulyanto, angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu bauran EBT mencapai 23 persen pada tahun 2025.
"Ini namanya pembangunan yang tidak selaras dengan prioritas kebutuhan bangsa. Sekadar memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada di Indonesia untuk kepentingan negara lain," kata Mulyanto kepada wartawan, Selasa (8/8).
Legislator PKS ini menegaskan, Pemerintah harus bisa memprioritaskan kepentingan nasional daripada kepentingan negara lain. Pemerintah jangan malah senang dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai penyedia kebutuhan EBT negara lain.
"Ini kan mirip-mirip dengan kasus ekspor pasir laut ke Singapura," katanya.
Dikabarkan sebelumnya, perusahaan EBT berbasis di Singapura, Vena Energy menargetkan dapat mengekspor listrik lintas negara sebesar 2,5 terawatt hour (TWh) lewat investasi anyar pabrik panel surya dan sistem penyimpanan baterai terintegrasi di Batam, Kepulauan Riau.
Proyek ini memiliki kapasitas lebih dari 2 GW tenaga surya dan sistem penyimpanan energi baterai yang berpotensi menampung lebih dari 8 GWh energi bersih.
"Untuk kebutuhan sendiri saja kurang, kok malah berpikir ekspor. Ini namanya salfok. Salah fokus," demikian Mulyanto.