THAILAND adalah negara yang berbentuk monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan demokrasi parlementer. Kepala negara dipimpin oleh Raja Maha Vajiralongkorn yang mulai naik takhta pada 13 Oktober 2016. Dan, kepala pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha yang berkuasa sejak 22 Mei 2014 sampai 13 Juli 2023.
Bersamaan dengan habisnya masa jabatan PM Prayut, parlemen Thailand menggelar pemilihan PM baru dari partai pemenang pemilu pada 14 Mei 2023. Yaitu, Move Forward Party (Partai Pergerakan Maju) yang dipimpin anak muda berusia 43 tahun: Pita Limjaroenrat. Dalam dua sesi pemilihan di parlemen yang menggunakan sistem bikameral, Pita gagal mengamankan mayoritas anggota parlemen yang dipilih melalui pemilu dan ditunjuk oleh Junta Militer.
Di sesi pertama pemilihan PM pada Kamis, 13 Juli 2023, Pita gagal mendapat dukungan mayoritas parlemen. Ia hanya bisa mengantongi 324 suara dari 375 minimal dukungan suara parlemen yang beranggotakan 715 orang. Sedangkan pada sesi kedua pemilihan PM pada Rabu, 19 Juli 2023, ia hanya memperoleh 312 dukungan, serta sisanya 394 menolak dan 8 abstain.
Praktis, ambisi Pita untuk memerintah Thailand gagal total. Meski partai yang dipimpinnya menang pemilu dengan 151 kursi. Di urutan berikutnya 17 partai parlemen lainnya dari 67 partai peserta pemilu yang memperebutkan 500 kursi parlemen di Majelis Rendah.
Kegagalan Pita tak lepas dari manuver junta militer Thailand yang cenderung ke PM lama yang berasal dari pimpinan militer sendiri. Dalam sistem politik Thailand, junta militer ini yang menunjuk anggota Senat yang duduk di Majlis Tinggi yang berasal dari latar profesi dan kelompok di Thailand. Jumlah mereka 250 orang.
Proses pengisian parlemen Thailand mirip dengan pengisian parlemen Indonesia pada masa Orde Baru. Militer punya peran sentral yang memiliki dwifungsi. Pertama, militer memiliki fungsi sebagai kekuatan ketahanan. Kedua, militer juga berfungsi sebagai kekuatan sosial politik.
Dwifungsi ABRI tersebut, terejawantahkan dengan keberadaan fraksi ABRI yang ditunjuk oleh institusi militer tanpa mengikuti pemilu layaknya partai politik peserta pemilu lain. Maka pada Pemilu 1999 misalnya, ada fraksi ABRI di berbagai tingkatan perwakilan.
Pada pemilu pertama reformasi, masih terdapat 38 anggota dari Fraksi TNI-Polri dari 100 orang sejak 1985 dari 500 anggota DPR RI. Sejak 2004, dwifungsi ABRI dihapus. Militer kembali ke barak dan menjadi tentara profesional sebagai kekuatan ketahanan nasional.
Jadi, melihat perkembangan demokrasi di Thailand seperti melihat perkembangan demokrasi Indonesia di era transisi politik dari Orde Baru pada Orde Reformasi. Kekuatan militer masih memegang kendali politik pemerintahan.
Mereka belum ikhlas untuk tidak cawe-cawe dalam pemerintahan
day to day. Kisah supremasi politik sipil masih jauh berada di negeri antah berantah. Mereka mau tak mau harus bernegosiasi dengan kekuatan militer dalam membangun pemilu demokratis.
Rakyat Thailand yang memilih MFP dan mendukung Pita jadi PM dari kalangan milenial harus kecewa, sistem dan konfigurasi politik tak menguntungkan. Para aktivis pro demokrasi harus berjuang keras melawan dominasi militer, membangun demokrasi yang hakiki dan pemerintahan politik sipil.
Memang, setiap negara punya sejarah pergumulan politik tersendiri dalam relasi militer dan politik sipil. Thailand satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tak pernah dikuasai oleh negara Barat. Beda halnya dengan negara lain yang rerata negara
postcolonial society. Militer nyata-nyata merupakan kekuatan pertahanan dan sosial politik di negara "demokrasi terpimpin" ini.
Thailand adalah negara Buddhisme terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sebab, Buddhisme adalah agama terbesar pertama yang dianut oleh 94,50 persen atau setara dengan 65,8 juta penduduk negara Siem. Islam adalah agama terbesar kedua di Thailand. Populasi muslim mencapai 4,29 persen atau setara 2,9 juta dari 69,6 juta penduduk negara Gajah Putih ini.
Kendati jumlah muslim di Thailand kecil, Ketua Parlemen dipimpin oleh seorang politikus muslim kawakan, Wan Muhamad Noor Matha. Seorang muslim Pattani yang memimpin partai Prachachart yang hanya memperoleh 1,59 persen pemilih atau 9 kursi parlemen. Namun, Noor termasuk pendukung junta militer yang mengendalikan politik Thailand, sehingga ia dapat berkah dari sokongan mantan PM Prayut.
Noor adalah politikus kelahiran 11 Mei 1944 yang sudah malang melintang di dunia politik Thailand yang pernah menjadi Menteri Perhubungan (1995-1996), Ketua DPR dan Presiden Majlis Nasional Thailand (1996-2000), Menteri Perhubungan (2001-2002), Menteri Dalam Negeri (2002-2004), Wakil Perdana Menteri (2004-2004), Menteri Pertanian dan Kerjasama (2004-2005), dan lain sebagainya.
Jujur, capaian politik Noor melebih basis pemilih muslim di Thailand. Lantaran kepiawaiannya sebagai politikus senior yang intelektual dan profesional, rezim Thailand acapkali memberikan posisi yang terhormat. Ini bentuk afirmasi dan kognisi negara terhadap muslim Pattani yang dikuasai Kerajaan Thai sejak abad ke-19.
Ada juga yang membaca posisi penting dan strategis Noor di atas adalah bagian kosmetik politik bangsa Thai untuk meredam tekanan politik dari dalam dan luar yang terus mengobarkan keinginanan Thailand Selatan Merdeka. Berulang-ulang gerakan separatis menyeret konflik militer di daerah Muslim Pattani Malayu sampai 2004, karena tindakan diskriminatif dan ketimpangan pembangunan di wilayah tersebut.
Yang pasti, muslim Pattani harus mencari format final dalam sistem monarki konstitusional dan demokrasi parlementer di Thailand. Merdeka bukan satu-satunya solusi. Bisa seperti yang diperjuangkan oleh Haji Sulong sejak 1947, memperjuangkan otonomi daerah yang memberi kebebasan dan keleluasaan untuk memiliki gubernur sendiri dari Pattani Muslim Melayu, penerapan syariat Islam, Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan pemerataan pembangunan.
Tanpa disadari minoritas muslim di Thailand berdiasfora pada partai politik di luar partai pimpinan Noor. Semua sadar bahwa yang terpenting dalam sistem politik itu tegaknya keadilan. Ingat kata petuah Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al-Islâm aw Wazhîfah Al-Hukûmah Al-Islâmiyyah (hal. 7 dalam cet. Dar El-Kutub El-Imiyyah Lebanon).
Biasanya yang dikutip dari buku itu adalah penggalan kalimat: “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan negara yang dzalim sekalipun beriman.”
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute