Mendiang Munir Said Thalib seolah tak habis-habisnya untuk diulas dalam buku. Tak cuma tentang perjuangannya, tapi juga soal komitmennya untuk mencari keadilan bagi orang-orang tertindas.
Kali ini, giliran sang istri, Suciwati, yang ingin mengajak pembaca mengenal lebih dekat aktivis HAM kelahiran Surabaya itu melalui buku "Mencintai Munir."
Suciwati berkesempatan membagi cerita di balik penggarapan buku terbitan Museum HAM Munir tersebut di Ambon, dalam diskusi yang dihelat atas kerja sama Yayasan Tifa, Imparsial, Museum Munir dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Maluku, Rabu (12/7).
Kegiatan tersebut dilaksanakan di News Rock Cafe dan dihadiri mahasiswa, pegiat HAM, masyarakat umum, dan jurnalis.
Adapun narasumber diskusi dan bedah buku ini adalah Suciwati (penulis/Istri Munir Said Thalib); Hussein Ahmad (peneliti Imparsial), Dino Umahuk ( Ketua bidang Organisasi Pengurus Pusat JMSI), dan Rere Khairiyah (Ketua AJI Ambon).
Sementara yang menjadi moderator kegiatan ini adalah Mark Ufie yang merupakan pelaku seni dan pegiat komunitas di Kota Ambon.
Bagi Suciwati, proses penggarapan "Mencintai Munir" berjalan sulit lantaran harus kembali mengingat masa-masa getir selepas sang suami dibunuh.
"Sebenarnya ini soal yang tidak mudah karena harus memanggil ingatan. Bukan cuma tentang kehangatan almarhum, tapi juga tentang rasa kehilangan. Bagaimana saya mendapat ruang ketidakadilan, dan prosesnya juga panjang," ujar Suciwati di hadapan para peserta diskusi.
Keputusan perempuan 54 tahun itu untuk menulis tak lepas dari keinginan menghadirkan sebuah buku yang membawa pembaca lebih dekat dengan Munir. Selain itu, ternyata belum ada buku yang menurutnya sreg lantaran masih banyak detail yang terlewat, dan hanya tahu aktivitas mendiang dari luar, alih-alih sebagai "orang dalam."
"Saya memang sudah mengumpulkan semua tulisan, riset dan memo yang pernah kami jalani. Sudah terkumpul, dan bagi beberapa orang ternyata kurang pas atau tidak bisa. Jadi pada satu titik, saya harus memulai karena saya tidak mau ada penyesalan dan orang hanya mengenal Munir dari luarnya saja," ujarnya.
Lebih jauh, Suciwati menyebut buku ini sebagai bentuk rasa cintanya kepada sang suami, sekaligus upayanya meluruskan segala simpang siur yang menyangkut Munir. Sekaligus menunaikan niatan yang sudah lama ia pancang.
"Pada akhirnya dengan buku ini saya bisa merasa lega akhirnya bisa menghadirkan buku ini," tutur perempuan asal Malang tersebut.
Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat JMSI, Dino Umahuk, yang hadir sebagai pembicara, masih ingat betul masa-masa awalnya bekerja di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), kemudian di Radio Voice of Human Rights (VHR) dan bisa bercengkerama langsung dengan Munir.
"Dari beliaulah saya belajar tentang
extraordinary crime, atau yang dia sebut sebagai pelanggaran HAM. Saya pertama kali dengar istilah itu dari Cak Munir. Dari ngobrol, bukan buku," ujar Dino.
"Dia ini punya magnitude komunikasi yang bagus banget. Orang lihat Munir itu musti ikut seminar atau lihat di televisi. Kita malah bisa membawanya langsung ke kantor untuk menjelaskan sesuatu. Dan dia memang senang diskusi dengan anak muda," imbuhnya.
Dino juga bercerita bahwa ia diajari oleh Munir cara berempati dan bersolidaritas dengan golongan marjinal. Mulai dari "rumus-rumus" dalam advokasi buruh, serta logika-logika kala pendampingan.
Dino mengatakan bahwa Munir adalah sosok yang rendah hati dalam membela hak-hak masyarakat, serta hidupnya banyak didedikasikan kepada korban.
“Munir tidak pernah lupa darimana dia berpijak, dan ia selalu mengingat itu. Hidupnya didedikasikan untuk keadilan korban, nyawanya dipertaruhkan untuk kebenaran, dan rezekinya disedekahkan untuk korban-korban,” pungkasnya.
Ketua AJI Ambon Rere Khairiyah menyebut bahwa buku "Mencintai Munir" bisa mengajak anak-anak muda melihat sang aktivis dari sudut pandang seorang pasangan dan ibu. Serta bagaimana perjalanan isu HAM di Indonesia.
"Membaca ini ibarat sebuah naskah film atau novel yang sangat
accomplished, dalam struktur. Saya pikir ini bisa menyegarkan ingatan kita dalam sudut pandang yang lebih menyentuh dan emosional, sekaligus jadi sumber informasi yang bagus," jelasnya.
“Poin yang menarik saat membaca buku ini adalah kita dihadapkan pada kondisi dunia aktivis, dunia advokasi, dunia di mana Munir dihadapkan pada persoalan yang serius. Sehingga buku ini menjadi gambaran bahwa Munir adalah sosok yang menginspirasi,” sambung Rere.
Kemudian Suciwati juga menjelaskan latar belakang dibuatnya judul buku “Mencintai Munir” karena kita pernah hidup dalam era yang otoriter dan banyak terjadi pelanggaran HAM.
“(melalui buku ini) Ada pesan yang harus diketahui masyarakat dan generasi yang sekarang mengenai susahnya hidup di ruang otoritarianisme dan negara banyak melakukan ancaman. Saat ini kita sedang hidup di era demokrasi, sehingga penting untuk menyampaikan kepada anak muda supaya demokrasi (dan hak asasi manusia) ini tidak diinjak-injak,” lanjut Suciwati.
Selain Suciwati, Al Araf yang merupakan salah satu narasumber sekaligus kawan baik Munir mengatakan, Munir adalah sosok yang rendah hati dalam membela hak-hak masyarakat, serta hidupnya banyak didedikasikan kepada korban.
“Munir tidak pernah lupa darimana dia berpijak, dan ia selalu mengingat itu. Hidupnya didedikasikan untuk keadilan korban, nyawanya dipertaruhkan untuk kebenaran, dan rezekinya disedekahkan untuk korban-korban,” ucap Al Araf.
Yusri Fajar selaku narasumber ketiga juga mengatakan, buku “Mencintai Munir” ini adalah judul yang sangat tepat mewakili kiprah dan perjuangan Munir.
“Buku Mencintai Munir tidak hanya membaca isi kisahnya, tetapi juga pemikiran dan kiprahnya. Bagi Mbak Suci tidak ada perpisahan dengan Cak Munir, oleh karena itu “Mencintai Munir” adalah judul yang sangat tepat,” jelas Yusri.
Yusri menambahkan, Munir adalah sosok inspiratif yang perjuangannya tidak mudah karena dihadapkan pada kondisi dunia aktivis dan advokasi yang serius.
“Poin yang menarik saat membaca buku ini adalah kita dihadapkan pada kondisi dunia aktivis, dunia advokasi, dunia di mana Munir dihadapkan pada persoalan yang serius, sehingga buku ini menjadi gambaran bahwa Munir adalah sosok yang menginspirasi,” sambung Yusri.
Selain diskusi dan bedah buku, kegiatan ini juga diselingi dengan pembacaan puisi, pembagian buku kepada beberapa peserta, dan mendengarkan cerita dari kawan-kawan Munir semasa menjadi mahasiswa dan aktivis HAM.