Ilustrasi tambang pasir/Net
TOTAL utang bruto publik di Indonesia sebesar Rp15 ribu triliun per triwulan I tahun 2023. Sedemikian besar utang tersebut, maka sangat penting untuk publik dapat berusaha sedemikian rupa supaya tidak gagal dalam membayar utang dan terutama meningkatkan kesejahteraan akibat menjalankan usaha.
Usaha-usaha tersebut antara lain adalah dengan memanfaatkan sumberdaya alam di atas dan di bawah permukaan tanah. Usaha di bawah permukaan tanah itu antara lain adalah usaha pertambangan.
Secara sederhana, usaha pertambangan dibedakan atas pertambangan mineral dan batubara. Pertambangan tersebut dipisahkan dengan urusan pertambangan panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
Kemudian total utang bruto pemerintah pusat sebesar Rp7,88 ribu triliun dan pemerintah daerah sebesar Rp85,32 triliun pada periode waktu yang sama di atas. Salah satu metode untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah memaksimumkan sumber keuangan untuk membayar utang adalah dengan memberlakukan regime perizinan pertambangan.
Untuk memaksimumkan penerimaan, maka pemerintah menghendaki setiap usaha pertambangan mempunyai izin. Usaha pertambangan tanpa izin, kemudian biasa diberikan nama sebagai
illegal mining.
Salah satu persoalan yang timbul dari pertambangan tanpa izin antara lain adalah terjadinya konflik kepemilikan tanah dengan para pemilik hak ulayat, yang belum mendapatkan ganti rugi kepemilikan tanah ulayat. Persoalan tersebut dapat terjadi secara berlarut-larut selama lebih dari 20 tahun tanpa ujung pangkal penyelesaian.
Persoalan bukan hanya pada bukti lengkap administrasi sebagai alas hak kepemilikan, melainkan terutama menyangkut besar kompensasi ganti rugi yang wajar atas harga tanah yang dijadikan sebagai usaha pertambangan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Persoalan bukan hanya pada tahapan eksplorasi saja, melainkan juga dapat berlanjut ketika proses operasi pertambangan belum berakhir dalam bentuk reklamasi lahan pertambangan. Sementara itu, lama perizinan pertambangan bervariasi yang dapat tertinggi mencapai secara total 70 tahun.
Yang terjadi bukan hanya urusan ganti rugi kepemilikan tanah, melainkan muncul persoalan dampak lingkungan. Eksplorasi, bahkan eksploitasi pertambangan dengan membuka hutan atau mengebor tanah di bawah air laut dapat mencemari lingkungan hidup.
Disamping itu pembuangan limbah pertambangan yang berbahaya menjadi persoalan pencemaran lingkungan hidup, selain urusan sulitnya tersedia alternatif terhadap transformasi kesempatan kerja dan kesempatan berusaha untuk penduduk setempat.
Persoalan berlanjut ketika program hilirisasi mineral dan batubara pun masih lebih menguntungkan untuk negara-negara lain, yang lebih dahulu menguasai teknologi terbaru.
Persoalan-persoalan di atas kemudian menjadi akar dari kesenjangan sosial ekonomi yang amat sangat tinggi diantara para pelaku-pelaku ekonomi pertambangan, bukan hanya yang tertib mempunyai izin, termasuk pelaku sisaan yang tanpa izin.
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana