Bukan hanya tentang ras, Taliban tetap bisa dicap apartheid karena pembatasannya terhadap hak-hak anak perempuan dan perempuan Afghanistan.
Hal itu diungkap oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Afghanistan, Richard Bennett, dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Arab News pada Selasa (20/6).
Menurut Bennet, Taliban bisa menjadi pemimpin yang "apartheid gender" karena serangkaian aturan mereka telah membatasi gerak perempuan di ruang publik.
"Diskriminasi yang parah, sistematis, dan terlembagakan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah inti dari ideologi dan aturan Taliban, yang juga menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka mungkin bertanggung jawab atas apartheid gender,” kata Bennet.
Bennett bahkan menyamakan perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan sama dengan penganiayaan gender dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Pencabutan hak-hak dasar perempuan Afghanistan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui penganiayaan gender,” tegas Bennett.
Bennet menjelaskan bahwa saat ini PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena jenis kelamin atau gender mereka.
Namun, ini masih belum disebut sebagai kejahatan internasional. Bennet berharap PBB akan melakukan lebih banyak eksplorasi tentang apartheid gender dan menetapkannya sebagai salah satu bentuk kejahatan, sehingga pelakunya dapat diadili.
Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021, secara drastis membatasi kebebasan dan hak perempuan, termasuk kemampuan mereka untuk bersekolah di sekolah menengah dan universitas.
April lalu, Taliban juga mulai memberlakukan larangan terhadap perempuan Afghanistan yang bekerja untuk PBB.