Kemenangan yang diraih Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam Pilpres putaran kedua diprediksi dapat memberikan dampak signifikan pada kemerosotan mata uang lira.
Menurut dua ekonom yang tergabung dalam perusahaan bank investasi dan jasa keuangan multinasional asal AS, Morgan Stanley, pada Minggu (28/5), lira bisa mengalami kemerosotan lebih cepat hingga 29 persen.
"Lira dapat mencapai 26 per dolar lebih cepat dari perkiraan sebelumnya dan melemah mendekati 28 pada akhir tahun, tanpa perubahan arah kebijakan," bunyi laporan yang ditulis ekonom Morgan Stanley, yakni Hande Kucuk dan Alina Slyusarchuk, seperti dimuat
Bloomberg.Dijelaskan bahwa pendekatan ekonomi Erdogan yang tidak ortodoks terhadap suku bunga telah membuat pasar yang terikat pada campuran peraturan dan intervensi ad-hoc menjadi tidak dapat diprediksi.
"Dia (Erdogan) percaya suku bunga yang lebih rendah menyebabkan inflasi yang lebih rendah, tetapi itu justru membuat lira tidak stabil," jelas Kucuk dan Slyusarchuk.
Selain itu, kebijakan Erdogan juga disebut telah membuat investor luar negeri melarikan diri, sehingga ketersediaan mata uang asing dan arus masuk dari mitra regional semakin berkurang.
"Total kepemilikan asing atas saham dan obligasi Turki menurun sekitar 85 persen, atau hampir 130 miliar dolar AS atau Rp 1.946 triliun, sejak 2013," kata laporan tersebut.
Jika Erdogan selama lima tahun ke depan tetap berpegang teguh pada kebijakan lama tanpa ada perubahan pada kerangka kebijakan makro, maka permasalah lira akan tetap hidup di pemerintahan berikutnya.
Oleh karenanya, mereka menyarankan agar Turki mulai berfokus pada disinflasi dan mengadopsi kebijakan ramah pasar sehingga investor dan arus mata uang dapat mengalir kembali.