Pemerintahan sipil Sudan yang rencananya akan diwujudkan kembali, nampaknya harus tertunda lagi untuk bisa benar-benar dijalankan.
Sebab, pemimpin militer dan pasukan pro-demokrasi Sudan mengeluarkan pernyataan bersama untuk menunda penandatanganan perjanjian yang akan mengantarkan mereka ke pemerintah sipil, yang rencananya akan disepakati pada Sabtu (1/4) malam ini.
Seperti dimuat
Star Tribune, nampaknya penundaan ini terjadi karena kedua pihak menemui jalan buntu dalam proses negosiasinya terkait reformasi keamanan utama negara, antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) atau paramiliter negara itu.
"Sebuah pertemuan akan diadakan Minggu untuk menetapkan tanggal baru untuk penandatanganan perjanjian politik akhir, yang saat ini belum dapat ditandatangani tepat waktu karena kurangnya konsensus mengenai beberapa masalah yang belum diselesaikan," kata pernyataan bersama itu.
Sudan telah terperosok ke dalam kekacauannya setelah kudeta militer, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel-Fattah Burhan, menggulingkan pemerintah pembagian kekuasaan yang didukung Barat pada Oktober 2021.
Namun pada Desember lalu, kedua pihak sepakat untuk menandatangani perjanjian awal untuk memulihkan transisi politik, yang juga ditengahi oleh masyarakat internasional di Khartoum.
Akan tetapi pembicaraan mengenai integrasi RSF ke dalam militer saat ini terus menemui titik buntunya, yang menurut juru bicara kelompok pro-demokrasi, Shihab Ibrahim, kedua pihak telah berjuang untuk mencapai kesepakatan tersebut.
"Namun, tentara menginginkan jangka waktu dua tahun untuk integrasi, sementara RSF meminta waktu 10 tahun," katanya.
Sejauh ini, tentara Sudan dan RSF belum menanggapi permintaan komentar apapun terkait penundaan ini.