Berita

Teguh Santosa saat berada di Desa Abnayeh, Iran, belum lama ini/RMOL

Publika

Dari Desa Merah Iran

SELASA, 28 FEBRUARI 2023 | 08:48 WIB | OLEH: TEGUH SANTOSA

SETELAH menempuh perjalanan sejauh 165 km selama 2 jam dari pusat kota Isfahan ke arah Qom di utara, mobil yang kami tumpangi tiba di Desa Abyaneh.

"Anda tidak akan menyesal," kata Kiani, sopir yang membawa kami.

Desa ini terletak di ketinggian 2.235 mdpl dikelilingi pegunungan terjal yang di akhir Februari masih diselimuti salju. Lokasinya tidak jauh dari fasilitas pengayaan uranium di Natanz.

Abyaneh dikenal sebagai desa merah.

Hal pertama yang menarik perhatian mata adalah rumah-rumah di desa itu yang dibangun dari batu yang direkatkan dengan tanah liat yang warnanya merah. Begitu juga dengan dindingnya, diplester dengan tanah liat merah yang dicampur jerami yang telah dicacah.

Warna merah bangunan di desa ini mengingatkan saya pada Marakaseh di Maroko, yang namanya berarti Tanah Tuhan.

Tapi berbeda dengan Marakesh yang memiliki bangunan-bangunan besar dan kokoh bahkan benteng dan istana, bangunan di Desa Abyaneh yang umumnya dua lantai disusun berdesakan dan terkadang berimpitan di lereng pegunungan.

Pintu-pintu kayu dan jendela berjeruji besi yang khas adalah bagian lain yang menonjol dari setiap bangunan. Begitu juga balkon kayu yang menghiasi rumah-rumah.

Ruas jalan di desa ini cukup sempit dan berkelok tajam, namun masih bisa dilalui mobil warga.

Sepintas Abyaneh juga mengingatkan saya pada Desa Cumalikizik di Bursa, Turkiye, yang sering disebut sebagai model pemukiman di masa-masa awal Turkiye Usmaniah.

Dari sisi usia, Desa Abyaneh lebih tua. Kata teman yang membawa saya ke sana, Hatef Pourrashidi dari kantor Organisasi Kebudayaan dan Hubungan Islam (ICRO), desa ini telah dihuni manusia sejak setidaknya 6.000 tahun lalu.

Bila perkiraan usia ini benar, maka Abyaneh jelas jauh lebih tua dari Desa Cumalikizik yang dibangun di awal abad ke-14. Juga lebih tua dari Damaskus di Suriah yang katanya telah dihuni sejak sekitar 5.000 tahun lalu.

Sementara menurut informasi yang saya baca di dinding museum antropologi di bagian depan desa disebutkan, "Setiap pengunjung atau tamu ketika berjalan di lorong-lorong Desa Abyaneh dibawa kembali ke masa 2.000 tahun lalu." Karena itulah, lanjut keterangan museum, Abyaneh juga kerap disebut sebagai "tangga menuju sejarah".

Di tahun 1975, Desa Abyaneh dicatat di dalam daftar warisan sejarah nasional Iran dengan nomor registrasi 1089.

Penggalian arkeologi masih dilakukan di desa ini.

Walau menjadi salah satu destinasi wisata di Iran, khususnya di Provinsi Isfahan, tapi sekarang tak banyak warga yang tinggal di desa itu. Umumnya orang tua. Mereka berladang dan menjual suvenir kerajinan tangan.

Adapun anak muda di desa merah itu sudah banyak yang tinggal di kota-kota besar lain di Iran. Mereka pulang pada musim-musim tertentu untuk melihat kondisi rumah warisan keluarga.

Menurut sensus di tahun 2006, penduduk di Abyaneh sebanyak 305 jiwa yang terdiri dari 160 keluarga.

Orang-orang tua di Abyaneh mengenakan baju yang khas: celana gombrong berwarna gelap untuk kaum pria, dan cadur bercorak bunga-bunga cerah untuk kaum wanita.

Bahasa Persia yang sehari-hari digunakan warga Abyaneh juga sedikit berbeda dari bahasa Persia yang digunakan masyarakat Iran umumnya.

Ragam bahasa ini disebut sebagai bahasa Persia Tengah dari era Sassanid yang berkembang di abad ke-3 SM.

Walau jumlah penduduknya tak lagi banyak, di Abyaneh saya menemukan sejumlah rumah ibadah.

Ada Masjid Jami', Masjid Azatgah, Masjid Porzaleh, Masjid Yosman, dan Masjid Pakhunaga. Selain masjid juga ada Gereja John dan Jesus, Gereja Hinza, serta Kuil Api Herpak tempat ibadah penganut agama Zoroaster.

Hal lain yang juga tampak menonjol di tempat ini adalah foto-foto martir Iran yang tewas dalam perang melawan Irak antara 1980 sampai 1988 yang lampau.

"Mereka lahir di desa ini," ujar Hatef Pourrashidi.

Tidak hanya di Desa Abyaneh, foto-foto martir ini juga dipajang di sepanjang jalan menuju desa sejak pos polisi Bourzroud yang kami lalui setelah keluar dari jalan tol.

Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI)

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya