AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono disorot publik. Ia bermobil Pajero menabrak motor Muhammad Hasya Attalah Syaputra (18) hingga tewas. Polisi malah menetapkan almarhum Hasya sebagai tersangka. Diprotes banyak pihak.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sadek kepada pers, Sabtu, (28/1), mengatakan:
"Kami jelas mengecam penetapan tersangka untuk almarhum Hasya, teman kami sesama mahasiswa UI (Universitas Indonesia) yang jadi korban. Bagi kami, fenomena ini seperti Sambo jilid dua."
Dilanjut: "Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji, kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan."
Lain lagi, Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso kepada pers, Sabtu (28/1) mengatakan:
"IPW prihatin dengan korban mahasiswa Fisip UI semester pertama Hasya. Ia menjadi double victim. Setelah mati malah dilabel tersangka pula. Hanya sekadar memberi rasa aman mantap pada purnawirawan Polri pangkat AKBP agar tidak dituntut."
Lain pula, Anggota Komisi III DPR RI (bidang Kamtibmas), Habiburokhman kepada pers, Minggu (29/1) mengatakan:
"Kami juga mempertanyakan hal ini. Apa urgensinya penetapan tersangka terhadap almarhum Hasya?"
Lain instansi, Kompolnas yang diketuai Menko Polhukam, Prof Mahfud MD, akan klarifikasi ke Polda Metro Jaya soal ini. Dikatakan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti kepada pers, Sabtu (28/1) begini:
"Kasus ini menjadi perhatian publik sejak awal terjadi hingga kemarin diumumkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kompolnas segera melakukan klarifikasi ke Polda Metro Jaya terkait kasus ini. Polisi jangan berpihak."
Masih ada beberapa individu tokoh menyatakan heran, bahwa orang sudah tewas (Muhammad Hasya) malah jadi tersangka. Antara lain, politikus Partai Gerindra, Fadli Zon.
Perkaranya sederhana. Kecelakaan lalu lintas biasa. Kejadian sudah hampir empat bulan.
6 Oktober 2022 malam, di Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Berjarak sekitar 500 meter dari Kampus UI. Situasi hujan gerimis. Jalanan becek.
Hasya keluar dari kampus UI naik motor sendirian dari selatan ke utara. Pak Eko dengan mobil Pajero datang dari arah sebaliknya. Mereka bertabrakan. Tubuh Hasyah jatuh ke kanan, dilindas mobil Pajero Eko.
Warga mengangkut tubuh Hasya ke pinggir jalan. Mobil Eko berhenti. Lalu teman-teman Hasya sesama mahasiswa UI naik motor lewat situ juga, berhenti, menjenguk Hasya. Katanya, saat itu masih hidup. Mengerang kesakitan.
Para mahasiswa UI teman Hasya meminta Eko mengangkut Hasya ke rumah sakit. Butuh cepat. Tapi, kata ayah Hasya, Adi Syahputra yang mendapat laporan dari teman-teman Hasya, mengatakan, Eko menolak mengangkut tubuh Hasya. "Tubuh anak saya dibiarkan saja di pinggir jalan. Tapi pelaku tidaklari, tetap di situ, katanya.
Sekitar setengah jam kemudian, atas usaha teman-teman Hasya, dapat kendaraan mengangkut Hasya ke rumah sakit. Setelah tiba di RS, diperiksa dokter, Hasya dinyatakan meninggal. Death on arrival.
Ketika Hasya di rumah sakit. Eko juga ada di sana. Menunggui. Tidak lari. Sampai ia ketemu ayah Hasya, Adi Syahputra di RS.
Perkara ini diusut polisi. Makan waktu lama. Karena tak ada saksi mata. Waktu itu di TKP hujan gerimis terus-menerus. Polisi mendamaikan keluarga korban dengan pelaku. Tapi tidak bisa damai.
Eko sempat dikenakan wajib lapor ke Polda Metro setiap Kamis. Gelar perkara sampai empat kali. Sampai tahun berganti.
Akhirnya, Jumat, 27 Januari 2023 Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Latif Usman mengatakan, korban lalai, sehingga tewas tertabrak mobil Mitsubishi Pajero milik pensiunan Polri, Eko.
"Menetapkan, Muhammad Hasya Attalah Syaputra sebagai tersangka," katanya. Saat itu juga diterbitkan SP3. Atau perkara dihentikan.
Kemudian heboh.
Pencarian di Google tentang sosok Eko sangat gencar. Tapi, tidak banyak datanya. Sebab, Eko jarang diliput media massa. Hanya disebutkan, Eko saat berpangkat Kompol, jadi Kapolsek Cilincing pada 2021. Lalu, dimutasi menjadi Wakil Kepala Satuan Binmas, Polres Jakarta Barat dan berpangkat AKBP. Setelah itu pensiun.
Sedangkan Hasya, mahasiswa semester awal FISIP UI. Ia dikenal jago olahraga Taekwondo.
Belum jelas, apakah perkara yang sudah di-SP3 ini bisa dibuka lagi, akibat banyaknya keberatan dari beberapa lembaga? Dari beberapa lembaga itu yang paling 'berat' adalah Kompolnas pimpinan Prof Mahfud MD.
Merujuk pernyataan IPW: "Double Victim", atau orang yang sudah jadi korban, dan tewas, lantas dijadikan tersangka juga, dalam kriminologi ada teorinya. Disebut The Victim Blaming Theory.
Teori tentang korban pelanggaran pidana, tidak banyak. Mayoritas teori kriminologi menyoroti pelaku tindak pidana.
Di antara pencetus The Victim Blaming Theory, adalah Prof Melvin J. Lerner. Ia guru besar psikologi sosial di University of Waterloo, Ontario, Kanada (1970-1994). Kini ia guru besar tamu di Florida Atlantic University di Florida, AS.
Prof Lerner dalam bukunya bertajuk: "The Belief in a Just World: A Fundamental Delusion" (New York, Plenum Press, 1980) menyebutkan, The Victim Blaming Theory menggambarkan praktik meminta korban ikut bertanggung jawab atas ketidakberuntungan mereka.
Ini mewakili kesalahan individu yang telah menanggung penderitaan, kesulitan, atau kemalangan lainnya dengan sebagian atau seluruh tanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Dalam bahasa kita sehari-hari disebut: Sudah jatuh, ketimpa tangga.
Teori ini mengandalkan premis, bahwa individu harus mengenali bahaya yang ada di masyarakat. Maka, setiap individu harus mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat keamanan dirinya sendiri.
Mereka yang tidak mengambil tindakan pencegahan seperti itu, dianggap tercela atas kematian mereka. Meskipun sudah bertindak hati-hati.
Frasa 'hati-hati' di sini terkait, atau punya hubungan kausalitas, dengan frasa 'harus mengenali bahaya yang ada di masyarakat'. Contoh: Jangan dekat-dekat orang mabuk, karena bahaya. Meskipun dilakukan dengan hati-hati.
Prof Lerner kelihatan seolah membela pelaku tindak pidana, atau menyalahkan korban di bukunya tersebut. Padahal sebenarnya tidak. Karena, kalimat berikutnya dituliskan, begini:
"Persepsi ini pada dasarnya menggeser kesalahan, dari pelaku kejahatan ke korban."
Mak jleb... di kalimat terakhir Lerner.
Para ilmuwan kriminologi-psikologi di Amerika mengakui, bahwa Lerner pelopor teori "The Belief in a Just World". Atau "Keyakinan pada Dunia yang Adil".
Sebab, Lerner menyebut kata tersebut, pada jauh sebelum buku di atas diterbitkan. Teori "Dunia yang Adil" dicetuskan Lerner pada 1965 melalui karya ilmiah psikologi sosial.
Inti "Dunia yang Adil", ya itu tadi: Semua orang harus mengenali bahaya di masyarakat. Maka, jangan mendekati bahaya tersebut. Jika teori ini dilanggar, maka bisa ketimpa sial. Dalam bahasa Lerner: ".... menggeser kesalahan, dari pelaku kejahatan ke korban."
Di kasus kecelakaan yang menewaskan Hasya, unsur bahaya itu ada di hujan gerimis dan jalanan becek. Pastinya kondisi jalan licin buat roda motor.
Menyitir teori Lerner, semua pengguna jalan harus paham, bahaya mengintai di jalan licin. Meskipun dilalui dengan hati-hati.
Dalam kasus ini, tinggal dihitung, berapa kecepatan motor Hasya dan mobil Eko? Adakah pengereman dari kedua belah pihak? Yang ternyata juga sangat sulit dikalkulasi. Karena, di jalanan becek tidak dapat diinvestigasi tingkat pengereman secara akurat, dari serpihan karet ban pada aspal.
Akibatnya, menurut teori Lerner, bisa dengan gampang kesalahan bergeser dari pelaku kepada korban.
Di sisi lain, dalam budaya masyarakat kita berlaku anggapan publik, begini: Pejalan kaki ditabrak sepeda, maka sepeda yang salah. Pesepeda ditabrak pemotor, motor yang salah. Pemotor ditabrak pemobil, mobil yang salah.
Akibatnya, keputusan Polda Metro Jaya membikin Hasya tersangka, adalah mengherankan. Kontradiktif budaya. Apalagi, tanpa saksi mata.
Betapa pun, pernyataan Ketua BEM UI: ".... fenomena Sambo jilid dua", tentu tidak relevan. Tidak terkait langsung. Itu cuma persepsi kritis. Harus diabaikan publik.