Keputusan Pemerintah Jepang untuk membatasi kedatangan asal China di tengah melonjaknya angka kasus Covid-19 mendapat reaksi dari Beijing.
Seperti AS, Jepang telah meningkatkan kontrol perbatasan yang menargetkan pelancong dari China. Mereka mengatakan pihaknya butuh hasil tes yang lebih ketat dari pengunjung negara itu.
Menurut laporan
NHK, seluruh kedatangan China saat ini diwajibkan melakukan tes antigen sederhana setibanya di Jepang. Mereka yang dites positif diharuskan tinggal di fasilitas karantina.
Menanggapi langkah-langkah baru Jepang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan negaranya selalu percaya bahwa untuk langkah-langkah respons Covid harus berbasis sains dan proporsional.
"Mereka tidak boleh digunakan untuk manipulasi politik, tidak boleh ada tindakan diskriminatif terhadap negara tertentu, dan tindakan tidak boleh mempengaruhi perjalanan normal dan pertukaran serta kerja sama orang-ke-orang," kata Mao, seperti dikutip dari
Global Times, Rabu (4/1).
Langkah Jepang mengikuti keputusan Pemerintah AS serta negara-negara anggota Uni Eropa, di mana komite kesehatan blok itu mengatakan pada Selasa bahwa negara-negara anggota menyetujui pendekatan terkoordinasi untuk situasi Covid-19. Sebagian besar negara UE mendukung pengenalan pengujian Covid pra-keberangkatan untuk pelancong dari China.
Beberapa ilmuwan asing tidak mendukung pembatasan perjalanan baru pada pelancong dari China yang menurut mereka tidak perlu dan tidak akan menghentikan penyebaran virus, mengingat variannya telah menyebar ke seluruh dunia.
“Pembatasan perjalanan sebagian dapat menghambat impor dan penyebaran virus. Namun, dalam ekonomi global saat ini, negara tertutup tidak mungkin dilakukan,†kata Kaio Kitazato, ahli virologi dari Departemen Ilmu Biomedis di Universitas Nagasaki.
"Selama ada pergerakan orang, tidak mungkin sepenuhnya menghindari impor virus jika pembatasan perjalanan hanya diberlakukan di negara tertentu," lanjutnya.
James Wood, seorang profesor di Sekolah Kesehatan Penduduk Universitas New South Wales, menggemakan pandangan ini. Menurutnya, dia tidak yakin bahwa pembatasan perjalanan akan berdampak signifikan pada penyebaran kasus dari China ke negara lain.
Hal serupa diungkapkan Jeffrey Shaman, seorang ahli epidemiologi di Universitas Columbia. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak percaya pembatasan perjalanan akan membantu menghentikan bahaya yang diklaim oleh beberapa negara.
"Karena virusnya sudah ada di mana-mana dan seperti yang ditunjukkan varian lain, mereka berpindah-pindah," ujarnya.