KEMARIN, Rabu (23/11) Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Sekber Prabowo yang memohon Pengujian Pasal 169 UU 7/2017 tentang Pemilu "tidak dapat diterima" atau "niet ontvankelijk verklaard" karena pemohonnya tidak mempunyai kedudukan hukum atau "legal standing" untuk memohon pengujian atas pasal tersebut.
Dalam hukum acara MK, pemohon pengujian undang-undang (PUU) harus mendalilkan adanya "kerugian konstitusional" yakni adanya hak atau kewenangan konstitusional (constitutional rights) Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang dilanggar atau dikesampingkan dengan berlakunya norma dalam undang-undang yang hendak diuji.
Kerugian tersebut haruslah bersifat faktual dan nyata atau setidak-tidaknya berdasarkan penalaran yang wajar sangat mungkin akan terjadi. Kerugian itu tidak boleh hanya reka-rekaan belaka yang tidak didasarkan atas fakta dan penalaran logis apapun.
Pasal 169 UU 7/2017 yang dimohonkan untuk diuji oleh Sekber Prabowo itu mengatur salah satu syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, yakni tidak pernah menjabat Presiden atau Wakil Presiden dua periode. Bagaimana kalau Presiden dua periode mencalonkan diri menjadi calon Wakil Presiden, atau sebaliknya Wakil Presiden dua periode mencalonkan diri menjadi calon Presiden, boleh atau tidak menurut UUD 1945?
Sekber Prabowo adalah badan hukum (
rechtpersoon), bukan individu warganegara Indonesia sejak kelahirannya yang berhak mencalonkan diri menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden. Pada sisi lain, Sekber Prabowo juga bukan Parpol Peserta Pemilu yang berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sekber Prabowo tidak lebih dari sebuah ormas berbadan hukum yang dapat digolongkan sebagai badan hukum privat atau publik.
Karena Sekber Prabowo belum pernah menjadi Presiden atau Wakil Presiden dua periode, maka MK berpendapat tidak ada kerugian konstitusional apapun bagi Sekber Prabowo dengan berlakunya norma Pasal 169 UU 17/2017 tentang Pemilu yang mengatur salah satu syarat calon Presiden dan Wakil Presiden itu.
Jadi, wajar saja jika MK memutuskan tidak dapat menerima permohonan tersebut karena pemohonnya tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan.
Jika pertimbangan MK bahwa perorangan WNI yang mempunyai
legal standing untuk menguji Pasal 169 UU Pemilu adalah orang yang pernah menjabat Presiden dan Wakil Presiden dua periode, maka hanya ada tiga orang di negeri ini yang punya
legal standing untuk menguji norma pasal tersebut, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo, dan Jusuf Kalla (JK).
Itupun, kalau SBY dan Jokowi berminat menjadi Cawapres dan JK berminat untuk maju menjadi Capres dalam Pemilu 2024 nanti. Kalau niat itu tidak ada, maka mereka juga tidak punya
legal standing untuk menguji norma Pasal 169 UU Pemilu itu. Tetapi partai politik peserta Pemilu 2024 yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, punya
legal standing untuk mengajukan permohonan tersebut.
Karena seperti di atas itu pandangan MK, maka permohonan Pasal 169 UU Pemilu semestinya diajukan oleh Partai Gerindra, bukan oleh Sekber Prabowo. Itupun kalau sekiranya partai itu berniat untuk mencalonkan pasangan Prabowo-Jokowi sebagai Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024.
Sebagai parpol peserta Pemilu 2024, Gerindra dengan menggandeng parpol lain akan mencukupi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (
presidential threshold) dan berhak untuk mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024 nanti.
Jika pasangan calon yang akan mereka usulkan adalah Prabowo-Jokowi, maka niat Partai Gerindra itu ada kemungkinan akan terhalang dengan sifat multi tafsir Pasal 169 UU Pemilu, yakni apakah orang yang pernah menjabat Presiden dua periode, bisa menjadi calon Wakil Presiden atau tidak. Pengujian terhadap Pasal 169 UU Pemilu antara lain dapat dilakukan terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur tentang keadilan dan kepastian hukum.
Kalau Partai Gerindra bertindak sebagai pemohon, maka saya "haqqul yaqin" MK tidak akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Partai Gerindra punya legal standing untuk mengajukan permohonan.
Bahkan dugaan saya, MK juga akan mengabulkan materi permohonan tersebut, yakni orang yang pernah menjabat Presiden dua periode adalah sah atau boleh mencalonkan dan/atau dicalonkan oleh parpol peserta Pemilu sebagai Cawapres. Secara eksplisit UUD 1945 juga tidak melarang hal itu.
Kalau permohonan diajukan ke MK dan hasilnya dikabulkan, maka Partai Gerindra akan "melenggang kangkung" mencalonkan pasangan Prabowo-Jokowi sebagai Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024. Harapan untuk menang juga besar. Pasangan ini, secara politik, potensial bisa mengalahkan calon lain yang banyak disebut akhir-akhir ini seperti Puan Maharani, Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan.
Sekiranya pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Jokowi itu maju, maka langkah itu adalah jalan tengah untuk menyelesaikan kontroversi gagasan yang pernah dikemukakan Muhaimin Iskandar dan Bahlil Lahadalia tentang Jokowi tiga periode atau penundaan Pemilu 2024, yakni keinginan beberapa pihak yang ingin memperpanjang masa jabatan Jokowi dengan berbagai alasan, entah itu alasan ekonomi dan keuangan, pandemi yang masih berlangsung, kelanjutan program pembangunan infrastruktur dan realisasi pembangunan IKN. Para investor juga tidak akan ragu-ragu berinvestasi di IKN, karena alasan tidak adanya kepastian hukum dan politik.
Kekhawatiran para investor itu adalah, kalau ganti Presiden, maka proyek IKN akan mangkrak atau dibatalkan seperti Proyek Hambalang warisan SBY. Investasi mereka akan sia-sia. Soal kelanjutan program, pembangunan infrastruktur dan IKN yang menjadi prioritas Jokowi, dan pembangunan pertahanan serta industri pertahanan yang menjadi prioritas Prabowo, tinggal dinegosiasikan mereka berdua untuk diteruskan.
Kalau itu terjadi, kemungkinan besar Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya satu putaran. Jokowi disebut-sebut masih mendapat dukungan luas kalangan
wong cilik dan pemodal besar. Prabowo dalam Pemilu yang lalu didukung dengan gegap gempita oleh umat Islam berdasarkan fatwa dan ijtima' para ulama dan habaib.
Entah kalau ada fatwa dan ijtima' ulama yang baru yang "memansukhkan" atau membatalkan hasil ijtima' tersebut. Dalam hukum fiqih bisa saja ada "qaul jadid" atau pendapat baru, yang menggantikan "qaul qadim" atau pendapat terdahulu.
Persoalan BaruSekiranya MK nanti mengabulkan permohonan bahwa seseorang yang sudah pernah menjabat sebagai Presiden dua periode sah untuk mencalonkan diri sebagai Cawapres, dan Gerinda benar-benar mencalonkan Prabowo-Jokowi, maka akan tidak tertutup kemungkinan pasangan Capres-Cawapres dalam Pemilu 2024 hanya satu paslon saja.
Dengan majunya Prabowo-Jokowi, ada kemungkinan balon-balon lain termasuk Puan, Ganjar dan Anies mengurungkan niatnya untuk maju berhadapan dengan pasangan Prabowo-Jokowi. Bisa juga niat tetap ada, tetapi perahu kosong sudah tidak tersedia sebab telah "diborong" pasangan Prabowo-Jokowi. Kalaupun perahu kosong tetap ada, tetapi kemungkinan besar juga sudah tidak mencukupi lagi ambang batas 20 persen syarat pencalonan.
Kalau itu benar terjadi, paslon Capres-Cawapres adalah calon tunggal Prabowo-Jokowi, maka persoalan konstitusional baru yang selama ini tidak dipikirkan banyak ahli hukum tatanegara dan politisi, akan muncul ke permukaan. Pertanyaannya adalah:
(1) Bisakah Pilpres dilaksanakan sesuai jadwal yang dibuat KPU kalau paslonnya tunggal tanpa lawan?
(2) Apakah Pilpres harus ditunda sampai adanya minimal dua paslon?
(3) Kalau paslon tetap hanya satu, apakah Pilpres tetap dilaksanakan melawan kotak kosong?
(4) Atau, apakah paslon tunggal Prabowo-Jokowi itu langsung ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang dan langsung pula dilantik oleh MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, UUD 45 hasil amandemen ternyata tidak memberikan jalan keluar apapun. UU 7/2017 tentang Pemilu, yang norma Pasal 169nya dimohonkan untuk diuji MK oleh Satgas Prabowo juga tidak memberikan pengaturan untuk hal itu, walaupun DPR dan Presiden memperoleh pendelegasian UUD 45 untuk mengatur lebih lanjut Tata Cara Pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan undang-undang.
Nampak ada suatu keanehan pada anggota MPR yang mengamandemen norma Pasal 6 UUD 45, karena mereka bertolak dari asumsi bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang maju dalam setiap Pemilu akan lebih dari satu pasangan.
Karena itu, pengaturan semua ayat dalam Pasal 6A hanya mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang paslonnya lebih dari satu pasang. Padahal kemungkinan paslon tunggal, baik karena tidak ada peminat, maupun parpol pengusul yang punya
threshold sudah "diborong" habis oleh satu paslon, dalam hal ini misalnya oleh pasangan Prabowo-Jokowi, adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi.
UUD 45 sebelum amandemen juga memang tidak mengatur tata cara lebih rinci tentang Pilpres, termasuk jika hanya ada 1 pasangan calon. Tetapi, MPR mengatasi kevakuman pengaturan itu dalam Ketetapan MPR yang menegaskan jika hanya ada satu calon Presiden dan calon Wakil Presiden, maka MPR menetapkannya secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
MPR menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden tunggal secara aklamasi menjadi Presiden dan Wakil Presiden tanpa proses musyawarah-mufakat dan tanpa pemungutan suara adalah sah dan wajar karena MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR juga merupakan "penjelmaan seluruh rakyat Indonesia".
Sekarang, pasca amandemen, kedaulatan masih berada di tangan rakyat, tetapi tidak dilaksanakan sepenuhnya lagi oleh MPR yang juga tidak lagi berfungsi sebagai "penjelmaan seluruh rakyat Indonesia".
UUD 45 pasca amandemen memang masih memberikan kewenangan kepada MPR dalam kaitannya dengan Presiden dan Wakil Presiden, yakni memberhentikannya sebagai bagian akhir dari proses pemakzulan, menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden dalam hal Presiden berhalangan tetap, dan melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu 30 hari setelah Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap dalam waktu bersamaan.
Selain apa yang saya kemukakan di atas, tidak ada kewenangan MPR dalam kaitannya dengan pengisian dan pemberhentian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Jadi, jika ternyata sampai tenggat akhir pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan KPU, ternyata hanya ada satu paslon yang mendaftar dan memenuhi syarat, maka apakah KPU berwenang menetapkan pasangan tersebut otomatis menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih? Saya berpendapat tidak.
MPR sebelum amandemen berwenang menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden secara aklamasi menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih karena MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat adalah lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sementara KPU tidak memiliki kewenangan seperti itu.
KPU hanyalah penyelenggara Pemilu, termasuk Pilpres, sedangkan yang menentukan siapa pemenang adalah rakyat secara langsung. KPU hanya menetapkan Capres dan Cawapres terpilih berdasarkan suara terbanyak yang dilakukan oleh rakyat.
Itu artinya, KPU tidak punya pilihan kecuali menyelenggarakan Pilpres pasangan calon tunggal melawan "kotak kosong", setelah misalnya dilakukan perpanjangan waktu pencalonan. Perpanjangan ini pun harus hati-hati jangan sampai mengganggu jadwal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru hasil Pemilu 2024 pada tangal 20 Oktober 2024.
Jadwal ini tidak bisa digeser, sebab akan menyebabkan Presiden Jokowi dan Wapres Kyai Maruf Amin daluarsa masa jabatannya, sementara Presiden dan Wapres baru belum dilantik MPR.
Kalau setelah perpanjangan paslon tetap tunggal, maka Pilpres lawan kotak kosong dilaksanakan. Kalau paslon tunggal menang lawan kotak kosong sebagaimana beberapa kali terjadi dalam Pilkada maka tidak ada masalah. Paslon tunggal ditetapkan KPU sebagai pemenang dan MPR melantiknya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tapi bagaimana kalau paslon Capres dan Cawapres kalah melawan kotak kosong?Apakah kotak kosong yang akan dilantik MPR menjadi Presidan dan Wakil Presiden?
Kotak kosong jelas bukan subyek hukum yang berwujud manusia (
natuurlijk persoon) yang dapat dilantik untuk mengisi posisi sebagai pemangku jabatan (
ambtsdrager) apapun dilihat dari sudut hukum tata negara. Malah untuk "dipilih" dalam Pemilu (MK justru membenarkan pilkada lawan kotak kosong ini), adalah sesuatu yang problematik.
Kotak kosong tidak pernah mendaftar, apalagi disahkan KPU menjadi calon dalam pemilu atau pilkada di manapun. Memilih kotak kosong yang bukan subyek hukum, juga bukan calon dan tidak mungkin dapat dilantik mengisi jabatan apapun, dalam pandangan saya adalah tidak sejalan dengan asas-asas hukum manapun.
Kalau paslon Capres dan Cawapres kalah lawan kotak kosong, itu berarti mereka tidak berhak untuk dilantik MPR menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Maka sejak tanggal 20 Oktober 2024 nanti akan terjadi kevakuman jabatan Presiden dan Wakil Presiden. MPR tidak berwenang memperpanjang masa jabatan Jokowi dan Kyai Maruf Amin walau hanya untuk satu hari saja.
MPR juga tidak berwenang untuk melantik penjabat (sementara) Presiden dan Wakil Presiden sampai terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu. Tidak ada pengaturan terhadap hal itu, baik di dalam UUD 45 maupun di dalam undang-undang. MPR juga tidak berwenang untuk membuat Ketetapan MPR untuk mengatasi kevakuman itu.
Negara ini akan menghadapi kebuntuan konstitusional, yang jauh lebih sulit dibandingkan misalnya dengan penunjukkan siapa yang akan menjadi Perdana Menteri di Malaysia, karena Yang di-Pertuan Agong (Raja Federal) Malaysia menghadapi kenyataan saat ini bahwa tidak ada satupun koalisi mayoritas di Parlemen yang dapat mengajukan calon Perdana Menteri, walaupun hanya dengan mayoritas sederhana.
Konstitusi Federal Malaysia cukup mampu mengatasi hal ini, dibandingkan dengan UUD 45 pasca amandemen yang menyisakan begitu banyak kevakuman dan kebuntuan konstitusional.
Oleh karena itu, saya berpendapat amandemen UUD 45 untuk mengatasi kevakuman seperti di atas, termasuk antisipasi jika Pemilu gagal dilaksanakan karena sesuatu sebab sebagaimana pernah saya kemukakan dalam berbagai tulisan saya sebelumnya, yang berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan, adalah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan oleh MPR.
Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara