KASUS seperti ini belum tentu terjadi sepuluh tahun sekali. Bahkan, kasus seheboh ini mungkin belum tentu terjadi lima puluh tahun sekali.
Jelas, kasus Ferdy Sambo adalah kasus paling dramatis di tahun 2022.
Jumlah populasi Indonesia yang mengetahui kasus Ferdy Sambo mencapai 87,5 persen. Yang mendengar nama Ferdy Sambo berarti lebih banyak dibandingkan yang mendengar nama calon presiden yang sekarang beredar, kecuali Prabowo. Hanya Prabowo yang dikenal di atas 87,5 persen.
Mayoritas berbagai lapisan masyarakat juga mengetahui kasus ini. Bahkan kasus ini bertahan menjadi pembicaraan publik selama berbulan-bulan.
Kasus ini juga sangat berpengaruh pada lembaga besar seperti POLRI. Kasus Ferdy Sambo membuat kepercayaan pada polisi menurun 13 persen, dari 72,1 persen (sebelum kasus), ke 59,1 persen.
Bagaimana kepercayaan pemilih Pilpres 2024 terhadap kepolisian?
Ada lima capres-cawapres utama 2024 berdasarkan kekuatan partai dan elektabilitas. Mereka adalah Puan Maharani (kekuatan partai), Airlangga Hartarto (kekuatan partai), Prabowo (kekuatan elektabilitas), Anies Baswedan (kekuatan elektabilitas), dan Ganjar Pranowo (kekuatan elektabilitas).
Pemilih Puan, Airlangga, Prabowo, dan Ganjar, lebih banyak yang percaya terhadap polisi. Pada pemilih Anies, yang percaya dan tak percaya polisi hampir sama banyaknya, selisih
margin of error.
Demikian temuan penting dari survei nasional terbaru LSI Denny JA. Data dan analisa didasarkan pada survei nasional pada tanggal 11-20 September 2022 dan riset kualitatif. Survei nasional menggunakan 1.200 responden di 34 Provinsi di Indonesia.
Wawancara dilaksanakan secara tatap muka (
face to face interview).
Margin of error survei ini adalah sebesar +/- 2,9 persen.
Riset kualitatif dilakukan dengan analis media,
Focus Group Discussion (FGD), dan
indepth interview.
Lima hal yang membuat kasus Ferdy Sambo menjadi kasus paling dramatis tahun 2022Faktor Pertama, Kasus Ferdy Sambo didengar oleh 87,5 persen populasi Indonesia. Artinya Mayoritas absolut masyarakat Indonesia pernah mendengar atau mengetahui kasus ini (di atas 75 persen). Tak banyak dalam sejarah kasus yang didengar lebih dari 75 persen populasi negaranya.
Masyarakat yang tidak pernah mendengar kasus ini hanya 7,1 persen. Sebanyak 5,4 persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Faktor Kedua, kasus Ferdy Sambo didengar oleh mayoritas berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat usia, yang berusia di bawah 30 tahun, 94,4 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini.
Yang berusia 30-39 tahun, 88,5 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini. Yang berusia 40-49 tahun, 89,1 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini. Bahkan, yang berusia di atas 50 tahun, 81,6% menyatakan pernah mendengar kasus ini.
Kasus Ferdy Sambo Sambo juga didengar oleh mayoritas berbagai lapisan masyarakat secara penghasilan.
Masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 2 juta/bulan, 79 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini. Masyarakat dengan penghasilan Rp 2-3 juta/bulan, 94 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini. Masyarakat dengan penghasilan Rp 3-4 juta/bulan, 97,6 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini.
Masyarakat dengan penghasilan Rp 4 juta/bulan, 95,7 persen menyatakan pernah mendengar kasus ini.
Faktor ketiga, kasus Ferdy Sambo bertahan menjadi pembicaraan publik berbulan-bulan.
Kronologi kasus tewasnya Brigadir J mulai mencuat ketika Ferdy Sambo membuat laporan ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Jumat, 8 Juli 2022.
Sampai dengan sekarang (Oktober 2022), berarti sudah empat bulan kasus Ferdy Sambo ini dibicarakan. Ia tak hanya dibicarakan di warung kopi, di media sosial, bahkan juga di kampus hingga rumah ibadah.
Faktor keempat, kasus Ferdy Sambo seperti drama yang penuh isu panas dan perubahan karakter.
Dari kasus polisi tembak polisi, berubah ke isu perselingkuhan. Lalu kasus ini bertambah kaya dengan adanya elemen
obstruction of justice (perbuatan yang tergolong tindak pidana karena menghalangi atau merintangi proses hukum dalam perkara).
Ia berubah lagi menjadi kasus suami bela istri, penyalah gunaan jabatan, juga tuduhan uang gelap judi
online, hingga uang narkoba.
Kasus Ferdy Sambo cukup dramatis selayaknya sinetron yang populer.
Faktor kelima, kasus Ferdy Sambo membuat kasus kepercayaa pada polisi menurun 13 persen, dari 72,1 persen (sebelum kasus) ke 59,1 persen.
Pada tahun 2018, bahkan kepercayaan pada polisi berada pada angka 87,8 persen.
Tahun 2019, setelah Pilpres 2019, kepercayaan terhadap polisi sudah menurun pada angka 72,1 persen.
Sekarang di tahun 2022, kasus Ferdy Sambo membuat kasus kepercayaan pada polisi menurun ke 59,1 persen.
Ketika kepercayaan pada polisi menurun, itu artinya semakin banyak segmen masyarakat yang tak percaya pada polisi sebagai sebuah lembaga.
Siapakah yang semakin tak percaya polisi ini?
Masyarakat perkotaan, penduduk kota, lebih banyak yang tak percaya polisi.
Masyarakat yang tinggal di kota, 51,3 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi. Masyarakat yang tinggal di pedesaan, 32,1 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Dari sisi gender, laki-laki yang lebih banyak tak percaya.
Masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki, 39,3 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi. Masyarakat yang berjenis kelamin perempuan, 36,1 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Dari sisi pemeluk agama. Pemeluk yang beragama Islam lebih banyak yang tak percaya.
Masyarakat yang memeluk agama Islam, 38,6 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi. Masyarakt yang beragama non-Islam, 29,3 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Ada lima capres-cawapres utama 2024 berdasarkan kekuatan partai dan elektabilitas.
Mereka adalah, Puan Maharani (kekuatan partai/PDIP), Airlangga Hartarto (kekuatan partai/Golkar-KIB), Prabowo Subianto (kekuatan elektabilitas), Anies Baswedan (kekuatan elektabilitas), dan Ganjar Pranowo (kekuatan elektabilitas).
Pemilih Puan lebih banyak yang percaya terhadap polisi. Masyarakat yang memilih Puan, 69,5 persen menyatakan percaya terhadap polisi. Sebanyak 30,5 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Proporsi antara yang percaya dengan yang tidak percaya terhadap polisi di pemilih Puan, mendekati angka 70 persen banding 30 persen.
Pemilih Airlangga Hartarto (AH) lebih banyak yang percaya terhadap polisi. Masyarakat yang memilih AH, 60 persen menyatakan percaya terhadap polisi. Sebanyak 40 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Pemilih Prabowo lebih banyak yang percaya terhadap polisi. Masyarakat yang memilih Prabowo, 59,1 persen menyatakan percaya terhadap polisi. Sebanyak 40 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Pada pemilih Anies, yang percaya dan tak percaya polisi hampir sama banyaknya, selisih
margin of error. Masyarakat yang memilih Anies, 49,7 persen menyatakan percaya pada polisi. Sebanyak 47,4 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Pada pemilih Ganjar, lebih banyak yang percaya. Masyarakat yang memilih Ganjar, 66,8 persen menyatakan percaya terhadap polisi. Sebanyak 32,7 persen menyatakan kurang/tidak percaya terhadap polisi.
Bagaimana harapan publik pada Polisi ke depan?
Tingkat kepercayaan masyarakat pada TNI kini jauh di atas Polisi. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI berada diangka 90,9 persen. Tingkat kepercayaan terhadap polisi berada diangka 59,1 persen.
Perbedaan kepercayaan pada TNI dan Polri berjarak 31,8 persen.
Tingkat kepercayaan terhadap pribadi Kapolri Jenderal Po Listyo Sigit Prabowo, lebih tinggi dibanding pada polisi.
Masyarakat yang percaya terhadap polisi berada di angka 59,1 persen. Tingkat kepercayaan terhadap kinerja Kapolri berada pada angka 65 persen.
Jarak kepercayaan pada Kapolri dibandingkan Polri berjarak 6 persen. Ini disebabkan publik melihat kesungguhan Kapolri membersihkan kembali kinerja kepolisian.
Kasus Kanjuruhan kini ikut menurunkan citra polisi. Jatuhnya korban meninggal dalam tragedi bola itu sangatlah banyak: 132 nyawa melayang.
Polisi disalahkan karena penggunaan gas airmata, yang kadaluwarsa pula.
Apakah tingkat kepercayaan setinggi itu bisa dicapai kembali oleh polisi?
Ditahun 2018, kepercayaan terhadap polisi pernah menyentuh angka 87,8 persen.
Mayoritas publik masih menaruh harapan. Sebanyak 85 persen masyarakat berharap polisi dapat meningkatkan kembali kepercayaan publik.
Sebagai lembaga negara tentu kepercayaan publik penting untuk polisi. Semakin kuat kepercayaan publik, semakin mudah polisi sukses menjalankan perannya.
Sebagaimana moto polisi Rastra Sewakotama. Itu artinya Abdi Utama bagi Nusa dan Bangsa.
Mayoritas publik berharap polisi kembali kepada Khitahnya sebagai pelindung yang adil dan bersih bagi masyarakat banyak.
Tak ada negara yang kuat dan bersih tanpa kehadiran lembaga polisi yang kuat dan bersih pula.