Belt and Road Initiative (BRI) yang merupakan forum kerjasama buatan China dikabarkan sedang menghadapi defisit perdagangan yang terus meningkat, bersamaan dengan beban utang yang dialami oleh negara-negara yang bergabung dalam forum ini.
Pakistan, salah satu negara yang masuk dalam forum kerjasama ini, merasakan dampak yang cukup parah. Bahkan telah mengguncang stabilitas keuangan Islamabad.
Jebakan defisit perdagangan ini juga dialami oleh banyak negara lain yang sangat bergantung pada investasi dari China.
Dalam situasi ini, Pakistan dilaporkan mulai mengalami defisit perdagangan yang semakin melebar setelah proyek infrastruktur yang menggunakan dana BRI selesai dibangun lalu gagal menghasilkan perdagangan dan pendapatan yang cukup untuk membayar utang mereka.
Laporan mencatat ketidakseimbangan perdagangan Pakistan mencapai 164%, terburuk dibandingkan dengan beberapa penerima manfaat BRI lainnya seperti Angola (34%), Kenya (106%), Kirgistan (47%), dan Sri Lanka (41%).
Ada banyak negara berkembang lain yang bergabung bersama BRI menghadapi jebakan utang yang sama. Namun, Beijing menolak tuduhan jebakan utang yang dilakukan BRI. China mengatakan tuduhan tersebut tidak masuk akal dan tidak berdasar.
Toh kenyataan berkata sebaliknya. Seperti yang dialami Sri Lanka, negara ini diketahui meminjam di bawah BRI untuk membangun infrastruktur perdagangan dan transportasinya. Tetapi saat ini Sri Lanka mengalami guncangan akibat beban pembayaran utang.
Baru-baru ini sebuah studi yang dilakukan oleh think-tank Amerika, Felix K. Chang dari Foreign Policy Research Institute, berjudul "Deficit Trap: Trade Balances and China's Belt and Road Initiative", menyoroti dampak proyek infrastruktur BRI di Afrika dan Asia terhadap defisit perdagangan.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa neraca perdagangan Islamabad dengan China memburuk sebesar 164% pada 2021, dibandingkan tahun 2013. Hal ini tidak berbeda di negara-negara Afrika dan Asia Tengah, tetapi tidak begitu parah.
Sementara Pakistan terus mencatat defisit perdagangan tinggi yang tidak berkelanjutan dengan China. Faktor-faktor yang bertanggung jawab atas defisit perdagangan ini adalah ekspor Islamabad yang dianggap kecil, produktivitas yang lemah, persaingan asing yang ketat, serta kurangnya industrialisasi dan diversifikasi ekonomi yang dilakukan oleh Pakistan.
Sementara itu China diketahui memiliki banyak keunggulan dan keuntungan dari proyek BRI ini daripada negara-negara penerima manfaat lainnya. Negara-negara berbaris untuk meminjam dari bank-bank China dengan tarif komersial dengan menyewa perusahaan konstruksi China untuk membangun infrastruktur mereka.
Kerjasama ini kemungkinan sangat memudahkan China untuk mengekspor barang-barang mereka ke negara-negara tersebut. Memungkinkan China untuk memperluas cakupan pengaruhnya.
Islamabad dianggap gagal dalam memaksimalkan potensinya karena kendala keamanan, ketidakstabilan politik, kerangka kerja peraturan yang kompleks, kurangnya tata kelola yang efektif dan peringkat risiko kredit yang rendah berperan dalam meningkatkan defisit perdagangan secara keseluruhan.
Perlahan-lahan negara ini terperosok ke dalam jebakan "defisit perdagangan" China. Pada tahap ini, para kritikus menyerukan Beijing agar dapat berbuat lebih banyak untuk menghindari terjadinya potensi jebakan utang dan jebakan defisit perdagangan, jika BRI ingin tetap menarik dan mengumpulkan lebih banyak kerja sama lagi.