I
BUNG, masih enggak cerita tentang Rara Mendut? Saya kok mendadak ingat Novel Trilogi Rara Mendut karya Romo Mangun. Romo YB Mangunwijaya. Kalau tidak salah ingat, Bung, trilogi itu dibagi menjadi tiga bagian: Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri.
Lewat novel ini, Romo Mangun—sekali lagi, kalau saya tidak salah—ingin menceritakan perbenturan budaya, tentu budaya Jawa yang di dalamnya terdapat intrik politik, dan pergolakan tradisi feodalisme. Kisah Rara Mendut perempuan cantik dari Pati ini terjadi pada zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 – 1645) menjadi raja Kesultanan Mataram.
Jadi, kalau tradisi feodalisme masih sangat kuat, demikian pula intrik politik kerajaan yang dibalut dengan feodalisme juga kuat, tidaklah aneh.
Itu dulu, Bung. Misalnya, soal posisi perempuan dalam sebuah keluarga. Dulu, perempuan itu dinomor-duakan atau bahkan “tidak dianggep sama sekali.†Buktinya, ada ujar-ujaran begini, perempuan itu “
swarga nunut, neraka katut†(ke surga ikut, ke neraka pun terbawa) suami.
Semoga sekarang sudah tidak ada lagi.
Ya, saya katakan “semoga†Bung, karena konon masih terjadi di daerah-daerah tertntu karena alasan budaya tertentu, dan juga agama tertentu.
Bung, dulu ujar-ujaran seperti itu kata para pinisepuh—orang-orang tua—diartikan sebagai cerminan kesetiaan seorang perempuan terhadap suaminya. Perempuan harus mengikuti kemauan suami, ke mana pun pergi tanpa
reserve. Sekarang kan beda.
Memang ada janji—Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup—tetapi keduanya berjanji dalam kesetaraan.
Janji zaman dulu bisa dibaca sebagai bentuk inferioritas kaum perempuan terhadap lelaki, istri terhadap suami dalam kehidupan rumah tangga, Bung. Kalau “
swarga nunut, neraka katutâ€, kan perempuan di sini digambarkan sebagai tidak memiliki kuasa apapun bahkan atas dirinya sendiri.
Ini kan celaka di zaman sekarang ini. Meskipun masih ada yang menganut paham seperti itu. Bahkan, ada yang terus mengampanyekan.
Nah Bung, dalam novel Rara Mendut, Romo Mangun membela kaum perempuan. Pendek kata begitu. Bagaimana si Rara Mendut, perempuan rampasan perang dari Pati hendak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna. Tetapi, Rara Mendut menolak. Edan kan, pada zaman itu berani menolak.
Rara Mendut menolak karena sudah mempunyai seorang kekasih yakni Pranacitra. Kesetiaan Rara Mendut tak runtuh hanya karena jabatan, pangkat, dan kekayaan lelaki yang ingin memperisterinya. Walaupun penolakannya itu harus dibayar mahal.
IIBung, berita tentang Rara Istiani Wulandari yang pekan lalu viral dan dimuat berbagai media, itulah yang membawa ingatan saya pada Rara Mendut. Nama Rara Istiani Wulandari muncul saat digelar MotorGP di Sirkuit Mandalika, Lombok, pekan lalu. Ia bukan pembalap. Tetapi, pawang hujan.
Nah, karena profesinya inilah, Rara tidak hanya diberitakan, diceritakan, tetapi bahkan banyak dihujat, dikritik, dan dikecam habis-habisan oleh “sekelompok†orang. Apa salahnya dengan profesi itu, Bung? Tentu, pertanyaan itu yang harus dikemukakan.
Bagi para penentangnya, apapun penjelasan yang disampaikan Rara pasti tidak akan diterima. Ya, namanya saja tidak suka. Maka akan dicari seabreg dalil-dalil untuk membenarkan argumen-argumennya, entah itu masuk akal atau tidak, tidak peduli. Karena menganggap alasannya benar, bahkan paling benar.
Ya, namanya tidak suka, namanya benci, namanya berdiri di tempat yang berseberangan, maka akan menutup mata, telinga, dan hatinya terhadap pihak lain yang dibencinya, yang ditentangnya, yang dilawannya.
Dahulu, Rara Mendut yang walau perempuan rampasan, tetapi memiliki sikap, pendirian, filosofi hidup yang kukuh. Ia mencari cara bagaimana bisa lolos dari “sergapan†nafsu Tumenggung Wiraguna. Meskipun akhirnya tak berdaya karena kekejaman Tumenggung Wiraguna.
Kini zaman sudah berubah—walau ada yang masih merasa di zaman lalu, istilahnya zaman kuda gigit besi. Maka, berbagai komentar miring bahkan miring sekali yang bertubi-tubi dialamatkan padanya karena profesinya, tidak membuat Rara ciut nyali. Ia setegar Rara Mendut menghadapi Tumenggung Wiraguna yang menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan nafsunya. Walau tindakan Rara disebut sebagai “kebodohan†di zaman modern ini.
Ada yang cerewet (maaf), usil, suka mengkafirkan orang lain (menganggap dirinya paling saleh, paling suci) suka mensirikkan orang lain, senang membodoh-bodohkan dan mendungu-ndungukan orang lain (menganggap dirinya paling pandai, paling pinter). dan ada pula yang lebih suka memuja-muja budaya asing serta membuang budaya sendiri yang adiluhung tapi dianggap usang dan harus dibuang.
Ada pula yang menganggap apa yang dilakukan Rara sebagai tidak bernalar dan berbau klenik. Yang lain menganggapnya sebagai tindakan memalukan dan mendekatkan diri pada jin. Dan, beragam hujatan lainnya yang hanya membuktikan bahwa kita paling hebat dalam hal menghujat orang lain; sekaligus paling sulit untuk mengakui kehebatan orang lain.
Tapi untung, Rara sudah sangat paham akan tabiat, karakter, “penyakit†sebagian—semoga sebagian kecil bahkan kecil sekali saja—anggota masyarakat zaman sekarang. Sama dengan Rara Mendut, yang paham akan intrik politik dan tradisi feodalisme yang sangat kuat pada masa itu. Sekarang bukan hanya intrik politik tetapi juga agama; agama yang dipolitisasi. Sedikit-sedikit dipolitisasi.
IIIApakah itu adalah “buah†dari kemajemukan, kebhinnekaan kita? Semestinya bukan. Atau apakah ada yang salah dari masyarakat kita ini? Apakah kita dan sebagian anggota masyarakat sedang sakit?
Rasanya perlu diterima dan dipahami—terutama yang belum menerima dan belum atau malah tidak mau memahami—bahwa realitas deskriptif Indonesia adalah kebhinnekaan, sebagai representasi dari karakter sub-budaya atau etnik yang berbeda-beda. Itu berarti kebhinnekaan kita lebih dahulu ada sebelum persatuan.
Sumpah Pemuda 1928 adalah tonggak pemersatu kebhinnekaan, kemajemukan kita. Kita semua tahu akan hal itu. Hanya, kadang kita melupakannya atau sengaja melupakan atau tutup mata atau berusaha untuk menyamakan semuanya sesuai dengan kehendaknya atau kemauannya sendiri. Yang berbeda dipandang dan dianggap sebagai bukan dari bagiannya.
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang tunggal. Tetapi, bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan kepercayaan, bahasa, dan paham politik yang dianut. Perbedaan itu adalah anugerah Sang Pencipta Alam Semesta. Karenanya kita menjadi plural, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukan kehendak kita!
Demikian pula budaya kita pun beragam. Setiap budaya memiliki karakter yang menjadi penciri identitas atau jati diri masyarakat pendukung budaya itu dan sekaligus sebagai pembeda terhadap “yang lainâ€. Tetapi, tetap dalam satu bingkai ke-Indonesiaan.
Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang dijadikan pedoman dalam perilaku. Oleh karena dasar berpikir yang melatarbelakangi kebudayaan mereka berbeda-beda, maka wujud perilaku yang tampak dalam keseharian mereka juga tidak sama. Hal itulah yang mempengaruhi adanya multibudaya dalam masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Kemajemukan dan kearifan multikultural telah berakar cukup lama. Tetapi, belakangan ini rasanya terciderai; kesalahan perlakuan mengakibatkan kebhinnekaan bukan menjadi pemerkaya budaya bangsa melainkan sebaliknya menjadi faktor pemicu konflik dan pemecah belah. Jadi, persoalan aktual kebangsaan sejak kemerdekaan NKRI adalah prihal “mengelola perbedaanâ€.
Semestinya keanekaragaman, pluralitas itu dikelola dan dikembangkan menuju satu kesatuan masyarakat multikultural. Kecuali tidak mau mengakui keanekaragaman, kepluralitasan bangsa dan budaya bangsa Indonesia…Kalau begitu, ya gampang saja: jangan jadi bagian dari bangsa Indonesia.
Barangkali dalam konteks ini kita semestinya melihat Rara Isiani Wulandari; jangan memakai kacamata kuda. Lepaskanlah kacamata kuda itu, bukalah hati dan pikiran ketika melihat perbedaan pada orang lain.
Begitulah cerita Rara Mendut dan Rara Istiani Wulandari…
Penulis adalah wartawan senior