Berita

Presiden Rusia Vladimir Putin/Net

Dunia

Krisis Rusia-Ukraina, Ini 5 Hal yang Perlu Dipahami

SELASA, 22 FEBRUARI 2022 | 23:39 WIB | LAPORAN: AMELIA FITRIANI

Keputusan Rusia untuk mengakui wilayah Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka mengundang sorot publik dunia pada awal pekan ini (Selasa, 22/2).

Tidak lama setelah mengakui kemerdekaan wilayah yang terletak di timur Ukraina dan diduduki oleh separatis itu, Al Jazeera melaporkan bahwa sejumlah kendaraan militer Rusia memasuki daerah tersebut.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari “misi penjaga perdamaian”.

Dalam pidatonya, Putin mengatakan bahwa keputusan itu berangkat dari kebijakan selama bertahun-tahun.

Namun hal tersebut menuai kecaman dari banyak pihak, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.

Akan tetapi, bagaimana situasi tersebut bisa sampai di tahap ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Berikut lima hal yang perlu dipahami mengenai krisis di Ukraina tersebut.

1. Bagaimana krisis terbaru ini dimulai?

Pada Minggu (20/2), Putin kembali mengulangi rasa frustrasinya bahwa tuntutan Rusia untuk menulis ulang pengaturan keamanan Eropa telah berulang kali ditolak. Tuntutan itu telah diajukan Rusia sejak beberapa waktu yang lalu.

Tuntutan yang dimaksud adalah Rusia ingin Amerika Serikat dan NATO berjanji bahwa mereka tidak akan pernah mengizinkan Ukraina menjadi anggota aliansi. Rusia juga menekankan bahwa Ukraina harus menjadi negara penyangga dan netral.

Oleh karena itu, Moskow meminta NATO untuk menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan menyalahkan NATO karena merusak keamanan kawasan.

Namun para pemimpin Barat telah menolak tuntutan itu. Mereka mengatakan bahwa Kremlin tidak dapat diizinkan memveto secara efektif atas keputusan kebijakan luar negeri Ukraina. Mereka juga membela "kebijakan pintu terbuka" NATO, yang memberikan hak kepada negara Eropa mana pun untuk meminta bergabung.

Di tengah kebuntuan itu, Rusia mengumpulkan sekitar 150 ribu tentara di sepanjang perbatasan bersama Rusia-Ukraina sejak beberapa waktu terakhir.

Sejumlah pengamat menilai bahwa langkah Rusia itu adalah upaya untuk mengancam Ukraina.

Negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat pun yakin bahwa Rusia sedang merencanakan serangan skala besar. Di sisi lain, Rusia tegas membantah semua tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka berhak memindahkan pasukan dan peralatan militernya ke mana pun yang dianggap cocok di wilayahnya sendiri.

2. Lalu apa hubungannya dengan wilayah Donetsk dan Luhansk?

Dua wilayah itu terletak di bagian timur Ukraina dan merupakan wilayah yang diduduki oleh separatis. Secara kolektif, dua wilayah itu dikenal sebagai Donbas.

Pada tahun 2014, wilayah tersebut memisahkan diri dari kendali pemerintah Ukraina dan memproklamirkan diri sebagai “republik rakyat” yang independen.

Langkah itu menyebabkan konflik berdarah antara Ukraina dan pasukan yang didukung Rusia pada saat itu. Kemudian konflik itu sebagian berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Minsk setahun kemudian.

Beberapa poin dalam Perjanjian Minsk itu antara lain menyerukan gencatan senjata di wilayah itu dan kepergian pasukan asing dan tingkat otonomi untuk daerah-daerah yang dikuasai separatis.

Tetapi Rusia mengatakan bahwa itu bukan pihak dalam konflik dan bahwa sepanjang 420 km garis kontak, pertempuran tidak pernah benar-benar berhenti. Rusia pun menuduh Kiev telah melanggar gencatan senjata.

Di sisi lain, Ukraina juga menuduh Rusia telah melakukan hal yang sama.

Sementara konflik telah membara selama satu tahun, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) telah mencatat lebih dari 2.000 pelanggaran gencatan senjata terjadi.

Dalam pidatonya awal pekan ini, Putin mengulangi keyakinannya bahwa Ukraina timur adalah tanah Rusia kuno.

“Saya menganggap perlu untuk membuat keputusan yang seharusnya dibuat sejak lama, untuk segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk,” katanya, sebelum menandatangani dekrit.

3. Bagaimana kekuatan internasional bereaksi?

Sebagian besar reaksi yang muncul bernada negatif alias kecaman.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden segera menandatangani perintah eksekutif untuk menghentikan aktivitas bisnis Amerika Serikat di wilayah yang memisahkan diri itu.

Sementara itu, Uni Eropa diperkirakan akan menyetujui dengan suara bulat serangkaian sanksi "kuat dan besar-besaran" terhadap Rusia.

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan bahwa negaranya telahmengambil langkah untuk menghentikan proses sertifikasi pipa gas Nord Stream 2, yang membawa gas alam dari Rusia ke Jerman.

Sementara China, sekutu Rusia, mengatakan prihatin. Jepang mengatakan siap untuk bergabung dengan sanksi internasional terhadap Moskow jika terjadi invasi skala penuh.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan Rusia harus "menarik diri tanpa syarat" dari wilayah Ukraina dan berhenti mengancam tetangganya.

Berbeda dari reaksi kebanyakan pihak internasional, pemerintah Suriah mengatakan "mendukung" langkah Putin dan akan bekerja sama dengan dua wilayah separatis itu.

4. Bagaimana perdebatan di Dewan Keamanan PBB?

Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik dan Perdamaian Rosemary DiCarlo membuka sesi pada Senin malam (21/2) dengan peringatan bahwa "risiko konflik besar adalah nyata dan perlu dicegah dengan segala cara".

Sementara itu, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, mengatakan bahwa Amerika Serikat dan sekutu Baratnya menghasut Ukraina menuju “provokasi bersenjata”.

Dia menuduh Ukraina meningkatkan penembakan secara tajam di daerah pemukiman di wilayah separatis selama akhir pekan lalu dan di beberapa kota dan desa Rusia di dekat perbatasan.

Di sisi lain, Duta Besar Ukraina untuk PBB Sergiy Kyslytsya menuntut agar Moskow membatalkan pengakuannya, segera menarik pasukan yang dikirim ke sana, dan kembali ke negosiasi.

Kyslytsya mengecam keputusan yang dia klaim ilegal dan tidak sah yang telah diambil oleh Putin.

Sementara itu, China mengeluarkan komentar yang lebih "hari-hari: dengan menyerukan pengekangan dan solusi diplomatik.

5. Potensi masalah apa yang mungkin ada di depan?

Kekhawatiran membayangi dampak perang Eropa, tetapi beberapa orang percaya bahwa masih ada ruang untuk diplomasi.

Sebelum pengumuman Putin, dia telah setuju untuk berbicara dengan Biden tentang krisis tersebut.

Bahkan setelah keputusannya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan dia masih tertarik untuk mengejar solusi diplomatik.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

SPS Aceh Dinobatkan sebagai SPS Provinsi Terbaik 2024

Rabu, 01 Mei 2024 | 05:53

Hari Ini Nasdem Muara Enim Buka Penjaringan Balon Bupati dan Wabup

Rabu, 01 Mei 2024 | 05:36

Prof Sugianto Janjikan Netralitas ASN pada Pilkada 2024 kalau Ditunjuk jadi Pj Bupati

Rabu, 01 Mei 2024 | 05:14

Teriakan "Ijeck Gubernur" Menggema di Syukuran Kosgoro 1957 Sumut

Rabu, 01 Mei 2024 | 04:58

Dihiasi 2 Penalti, Bayern Vs Madrid Berakhir 2-2

Rabu, 01 Mei 2024 | 04:46

Dai Kondang Ustaz Das'ad Latif Masuk Daftar Kandidat Nasdem untuk Pilwalkot Makassar

Rabu, 01 Mei 2024 | 04:22

Jelang Pilkada, Pj Gubernur Jabar Minta Seluruh ASN Jaga Netralitas

Rabu, 01 Mei 2024 | 03:58

Ekonomi Pakistan Semakin Buruk

Rabu, 01 Mei 2024 | 03:37

Kader PKB Daftar sebagai Bacabup Aceh Besar lewat Demokrat

Rabu, 01 Mei 2024 | 03:29

Ngaku Punya Program Palembang Bebas Banjir, Firmansyah Hadi Daftar di PDIP

Rabu, 01 Mei 2024 | 02:31

Selengkapnya