Berita

Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier/Net

Publika

MK Vs Kejahatan Undang-Undang

SABTU, 30 OKTOBER 2021 | 10:11 WIB | OLEH: FUAD BAWAZIER

MESKI putusannya dissenting opinion, alhamdulilah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan inti gugatan yang diajukan oleh Prof Amin Rais dkk terhadap Pasal 27 UU 2/2020 yaitu pemberian kekebalan hukum bagi pejabat dan pegawai tertentu yang sebelumnya memang sudah termuat dalam Perppu 1/2020.

Pada tahun 2020, pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perpu ini kemudian disahkan menjadi UU 2/2020.

Ketika pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 yang di dalamnya memuat pasal kekebalan hukum untuk pejabat-pejabat tertentu yang menjalankan APBN, yang pertama terlintas adalah lahirnya “a corruption friendly government”.

Karena itu, sejujurnya kami dan banyak pengamat lain terkejut dan amat kecewa dengan Pasal 27 dari UU tersebut. Bukan saja karena hak budget DPR untuk 3 tahun “diambil alih” pemerintah, tetapi yang lebih serius dan berbahaya adalah adanya Pasal 27 yang membebaskan Menteri Keuangan, KSSK dan jajarannya terbebas dari pidana, perdata, dan TUN.

Mereka tidak dapat digugat. Mereka kebal hukum. Pasal 27 ini selain bertentangan dengan konstitusi juga mengandung moral hazard yang mendorong pejabat untuk ceroboh dan berbuat korupsi.
 
Ketika Perppu Covid itu disahkan DPR menjadi UU, saya sebetulnya berharap persatuan jaksa, persatuan hakim, asosiasi lawyers dan bahkan unsur kepolisian akan ikut protes karena UU Keuangan Negara telah disalahgunakan untuk mengebiri UU Pidana, Perdata dan TUN, yang notabene mengebiri kewenangan mereka selaku penegak hukum.

Tapi, tidak ada yang memprotes apalagi menggugatnya ke MK.

Kemudian saya berpikir bahwa Pasal 27 itu baru hulu kejahatan yang logikanya akan diikuti dengan pasal hilir kejahatan untuk penyempurnaannya. Waktu itu saya mengira bahwa pasal hilirnya akan dimunculkan nanti melalui perpanjangan Perppu.

Dugaan saya meleset. Pasal kelanjutannya (pasal hilirnya) ternyata datang lebih cepat, dititipkan ke dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang Oktober ini disetujui bersama DPR-Pemerintah, yaitu Pasal 11.

Pasal ini memberikan perlindungan hukum kepada mereka (WP) yang melaporkan hartanya kepada aparat perpajakan (dalam program Tax Amnesty jilid 2). Harta yang mereka laporkan tidak bisa dijadikan alat untuk menyelidiki, menyidik maupun untuk tuntutan pidana.

Logika atau simulasinya, mereka yang saat melakukan korupsi APBN semasa pandemi ini tidak bisa dihukum, karena dilindungi Pasal 27, bila korupsi, masih memerlukan perlindungan hukum tambahan untuk memunculkan harta haramnya itu. Agar uangnya bisa sah dan aman masuk ke banking system, untuk dibelikan sesuatu, dijadikan modal usaha, dan lain-lain.

Di sinilah perlunya Pasal 11 tadi. Jadi kejahatannya sempurna amannya. Tidak cuma mereka yang pejabat, tapi tentunya uang uang kejahatan yang lain juga bisa memanfaatkan Pasal 11 ini. Misalnya untuk pencucian uang dari bisnis narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan dan lain-lain.

Padahal Tax Amnesty itu sejatinya atau seharusnya dimaksudkan untuk penghasilan atau keuntungan yang selama ini digelapkan yang maaf, dalam dunia bisnis umum terjadi. Tapi bukan untuk melindungi kejahatan.

Dan sekali lagi, yang digunakan untuk melegalkan ini, lagi-lagi UU yang berkaitan dengan keuangan negara. Mungkin karena lebih mudah, tidak banyak yang merecoki seperti jika mengubah UU pidana atau perdata.

Sebagai penutup, semoga pemerintah tidak lagi membuat penafsiran penafsiran lain yang menyimpang dari jiwa dan semangat putusan MK ini. MK akan konsisten membatalkan Pasal 11 UU HPP bila  kelak masuk gugatannya.

Penulis adalah pengamat ekonomi; Menteri Keuangan RI era Presiden Soeharto

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Viral Video Mesum Warga Binaan, Kadiv Pemasyarakatan Jateng: Itu Video Lama

Jumat, 19 April 2024 | 21:35

UPDATE

Satgas Judi Online Jangan Hanya Fokus Penegakkan Hukum

Minggu, 28 April 2024 | 08:06

Pekerja Asal Jakarta di Luar Negeri Was-was Kebijakan Penonaktifan NIK

Minggu, 28 April 2024 | 08:01

PSI Yakini Ekonomi Indonesia Stabil di Tengah Keriuhan Pilkada

Minggu, 28 April 2024 | 07:41

Ganjil Genap di Jakarta Tak Berlaku saat Hari Buruh

Minggu, 28 April 2024 | 07:21

Cuaca Jakarta Hari Ini Berawan dan Cerah Cerawan

Minggu, 28 April 2024 | 07:11

UU DKJ Beri Wewenang Bamus Betawi Sertifikasi Kebudayaan

Minggu, 28 April 2024 | 07:05

Latihan Evakuasi Medis Udara

Minggu, 28 April 2024 | 06:56

Akibat Amandemen UUD 1945, Kedaulatan Hanya Milik Parpol

Minggu, 28 April 2024 | 06:26

Pangkoarmada I Kunjungi Prajurit Penjaga Pulau Terluar

Minggu, 28 April 2024 | 05:55

Potret Bangsa Pasca-Amandemen UUD 1945

Minggu, 28 April 2024 | 05:35

Selengkapnya