Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum usai, Pemerintah terus berupaya untuk mengakselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional guna memperbaiki outlook defisit.
Pada APBN 2021, Pemerintah sendiri menargetkan pendapatan negara hingga Rp 1.743,6 triliun. Dari jumlah tersebut, pendapatan cukai ditargetkan mencapai Rp 180 triliun atau 10 persen dari pendapatan negara.
Target cukai mengalami peningkatan dan yang paling besar tampaknya akan terjadi di tahun 2022 mendatang. Sebagai contoh pada tahun 2019 lalu, Pemerintah menetapkan kenaikan target cukai sebesar 6,5 persen dari tahun sebelumnya.
Kemudian, di tahun 2020 pemeriintah kembali menaikkan target penerimaan cukai menjadi 9,08 persen, dan di tahun 2022 mendatang akan mencapai 11,9 persen dari target di tahun 2021 ini.
Kenaikan cukai yang kian tinggi sejalan dengan wacana Pemerintah untuk menetapkan perluasan obyek cukai pada tahun 2022, dengan menambahkan plastik sebagai barang kena cukai.
Mengenai wacana cukai plastik, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, DPR telah menyetujui cukai kantong plastik, berikut dengan cukai kemasan dan wadah plastik, cukai diapers, cukai alat makan serta minuman sekali pakai.
"Sedangkan penambahan cukai untuk makanan dan minuman berpemanis (MMDK) belum disetujui,†ujar Nirwala dalam diskusi media, Ekstensifikasi Cukai untuk Pemulihan Ekonomi Nasional yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi dan Politik, Kamis (2/9).
Nirwala mengungkap fakta terkait prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia yang meningkat sebesar 30 persen dalam waktu 2013-2018, serta pertumbuhan obesitas di Indonesia peringkat ketiga tertinggi di negara ASEAN pada rentan waktu 2010-2014, yakni 33 persen.
"Melihat data tersebut, MMDK berpotensi dikenakan cukai," jelasnya.
Mengenai hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR-RI, Eriko Sotarduga mengatakan, pemerintah perlu mengkaji lebih jauh terhadap barang-barang yang berpotensi dikenakan cukai.
Perluasan obyek cukai perlu segera dibahas pemerintah bersama DPR, dan hal ini terkait dengan barang-barang yang diharapkan dapat dikurangi konsumsinya, seperti makanan minuman yang tinggi kandungan Gula, Garam dan Lemak (GGL), salah satu contohnya minuman berkarbonasi.
"Konsumsi GGL yang terus bertambah mengakibatkan meningkatnya risiko kesehatan, (pengenaan) cukai akan membantu membuat masyarakat lebih menyadari menjaga kesehatan diri, tanpa harus memberatkan," ucapnya.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya Pemerintah membuat peta jalan perluasan obyek cukai.
Senada, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esa Suryaningrum mengatakan, kebijakan ekstensifikasi cukai dilakukan pemerintah sudah tepat. Sebab, selama puluhan tahun hanya ada tiga obyek cukai di Indonesia, dan Pemerintah menjadikan Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai kontributor utama cukai.
"IHT layaknya angsa bertelur emas, yang terus diandalkan untuk mampu memenuhi target penerimaan cukai, meski dengan tarif cukai yang kian meningkat yang dibebankan," katanya.
Esa menjelaskan, jika tarif cukai IHT terus dinaikan, hal ini tidak akan optimal dan malah akan memberikan dampak lain seperti perdagangan rokok illegal.
"Saat inipun meski memenuhi target cukai, namun angka produksi hasil tembakau kian menurun," tambahnya.
Untuk itu, Esa turut mendorong adanya peta jalan perluasan cukai. Indonesia merupakan salah satu negara dengan obyek cukai paling minim.
Negara tetangga seperti Thailand, saat ini telah mengenakan cukai pada 16 objek, Kamboja sebanyak 11 objek, Laos sebanyak 10 objek, Myanmar 9 objek, Vietnam 8 objek, India 28 objek, dan Jepang 24 objek. Beberapa objek barang kena cukai di negara tersebut antara lain: kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, minuman berkarbonasi, baterai, karoke, batu bara, serta AC.