Berita

UUD 1945 yang asli/Net

Publika

Mari Kembali Ke UUD 1945

SENIN, 05 JULI 2021 | 11:26 WIB

PADA 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menembus kebuntuan pembahasan Badan Konstituante di Bandung dengan mengeluarkan Dekrit yang isinya membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945, serta pembentukan MPRS dan DPAS.

Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno jam 17.00 itu didahului pendekatan dengan berbagai pihak, bahkan situs resmi Kemendikbud menyatakan atas desakan masyarakat.

Soekarno memahami aspirasi politik umat Islam dan mengakomodasi aspirasi tersebut sehingga menyatakan "Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut". Tidak ada gejolak atas Dekrit tersebut dan kembali ke UUD 1945 dapat diterima dengan baik.


Kini UUD 1945 masih menjadi konstitusi negara, hanya setelah reformasi tahun 1998 terhadap UUD 1945 ini dilakukan amandemen.

Tercatat empat kali amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Beberapa materi pasal telah ditambah dan diubah antara lain MPR tidak menjadi lembaga tertinggi, Presiden dipilih langsung rakyat, legislatif terdiri dari dua kamar DPR dan DPD, serta adanya lembaga Mahkamah Konstitusi.

Setelah amandemen berulang tersebut aplikasi ketatanegaraan yang awalnya diharapkan lebih demokratis dan tingkat kesejahteraan rakyat meningkat ternyata tidak kesampaian.

Bahkan pada rezim terakhir ini kedudukan Presiden cenderung semakin otoriter, kontrol DPR lemah, korupsi tidak mengendur, serta pengelolaan negara seperti tanpa "guidance". Konsekuensi dari eksekutif yang super kuat.

Ini semua tentu disebabkan oleh longgarnya kendali Konstitusi. Bahkan interpretasi dan improvisasi eksekutif terhadap Konstitusi semakin bebas dan dominan.

Perbaikan di samping koreksi penyelenggara negara juga menyangkut aturan dasar bernegara. Bukan obral amandemen tetapi kembali ke filosofi "the founding fathers" dalam memaknai dan mengatur negara. Kembali ke UUD 1945.

Tiga hal pokok yang harus dikembalikan, yaitu:

Pertama, kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR menjadi lembaga tertinggi kembali. MPR harus berdaya dan berdaulat. Menyimpang jauh jika MPR sejajar Presiden.

Kedua, Presiden adalah mandataris MPR bertanggung jawab kepada MPR. Kini Presiden yang dipilih rakyat menjadi "bertanggungjawab kepada rakyat" yang pada prakteknya tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa.

Ketiga, Presiden tidak memiliki panduan dan program kerja yang diamanatkan rakyat. Membuat program dan kebijakan sendiri yang semau-maunya. GBHN harus dihidupkan kembali agar ada tolok ukur dalam mengelola negara.

Bahwa ada hal lain yang kini menjadi substansi perbaikan isi UUD 1945 sebagaimana dirumuskan amandemen UUD 1945, dapat dituangkan dalam Ketetapan MPR. UUD 1945 dibersihkan kembali.

Jika rencana amandemen kelima yang diwacanakan akan memfokus pada menghidupkan GBHN walau dengan nama lain, maka konsekuensinya GBHN yang diamanatkan kepada Presiden itu harus dipertanggungjawabkan.

Sewajarnya pertanggungjawaban dilakukan kepada lembaga yang membuatnya yaitu MPR. Artinya, Presiden harus menjadi mandataris MPR kembali.

Perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dimulai dari aturan dasarnya. Kembali ke UUD 1945 sebagaimana dirumuskan oleh pendahulu negara. Dekrit 5 Juli 1959 hanya mengingatkan.

Mari kembali ke UUD 1945.Mari Kembali Ke UUD 1945

PADA 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menembus kebuntuan pembahasan Badan Konstituante di Bandung dengan mengeluarkan Dekrit yang isinya membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945, serta pembentukan MPRS dan DPAS.

Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno jam 17.00 itu didahului pendekatan dengan berbagai pihak, bahkan situs resmi Kemendikbud menyatakan atas desakan masyarakat.

Soekarno memahami aspirasi politik umat Islam dan mengakomodasi aspirasi tersebut sehingga menyatakan "Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut". Tidak ada gejolak atas Dekrit tersebut dan kembali ke UUD 1945 dapat diterima dengan baik.

Kini UUD 1945 masih menjadi konstitusi negara, hanya setelah reformasi tahun 1998 terhadap UUD 1945 ini dilakukan amandemen.

Tercatat empat kali amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Beberapa materi pasal telah ditambah dan diubah antara lain MPR tidak menjadi lembaga tertinggi, Presiden dipilih langsung rakyat, legislatif terdiri dari dua kamar DPR dan DPD, serta adanya lembaga Mahkamah Konstitusi.

Setelah amandemen berulang tersebut aplikasi ketatanegaraan yang awalnya diharapkan lebih demokratis dan tingkat kesejahteraan rakyat meningkat ternyata tidak kesampaian.

Bahkan pada rezim terakhir ini kedudukan Presiden cenderung semakin otoriter, kontrol DPR lemah, korupsi tidak mengendur, serta pengelolaan negara seperti tanpa "guidance". Konsekuensi dari eksekutif yang super kuat.

Ini semua tentu disebabkan oleh longgarnya kendali Konstitusi. Bahkan interpretasi dan improvisasi eksekutif terhadap Konstitusi semakin bebas dan dominan.

Perbaikan di samping koreksi penyelenggara negara juga menyangkut aturan dasar bernegara. Bukan obral amandemen tetapi kembali ke filosofi "the founding fathers" dalam memaknai dan mengatur negara. Kembali ke UUD 1945.

Tiga hal pokok yang harus dikembalikan, yaitu:

Pertama, kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR menjadi lembaga tertinggi kembali. MPR harus berdaya dan berdaulat. Menyimpang jauh jika MPR sejajar Presiden.

Kedua, Presiden adalah mandataris MPR bertanggung jawab kepada MPR. Kini Presiden yang dipilih rakyat menjadi "bertanggungjawab kepada rakyat" yang pada prakteknya tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa.

Ketiga, Presiden tidak memiliki panduan dan program kerja yang diamanatkan rakyat. Membuat program dan kebijakan sendiri yang semau-maunya. GBHN harus dihidupkan kembali agar ada tolok ukur dalam mengelola negara.

Bahwa ada hal lain yang kini menjadi substansi perbaikan isi UUD 1945 sebagaimana dirumuskan amandemen UUD 1945, dapat dituangkan dalam Ketetapan MPR. UUD 1945 dibersihkan kembali.

Jika rencana amandemen kelima yang diwacanakan akan memfokus pada menghidupkan GBHN walau dengan nama lain, maka konsekuensinya GBHN yang diamanatkan kepada Presiden itu harus dipertanggungjawabkan.

Sewajarnya pertanggungjawaban dilakukan kepada lembaga yang membuatnya yaitu MPR. Artinya, Presiden harus menjadi mandataris MPR kembali.

Perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dimulai dari aturan dasarnya. Kembali ke UUD 1945 sebagaimana dirumuskan oleh pendahulu negara. Dekrit 5 Juli 1959 hanya mengingatkan.

Mari kembali ke UUD 1945.

M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.

M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Eddy Soeparno Bicara Komitmen Prabowo Percepat Dekarbonisasi

Senin, 15 Desember 2025 | 16:13

Praperadilan Kakak Kandung Hary Tanoesoedibjo Dua Kali Ditolak Hakim

Senin, 15 Desember 2025 | 15:55

Miliarder Siapkan Hadiah Besar Atas Aksi Heroik Warga Muslim di Bondi Beach

Senin, 15 Desember 2025 | 15:48

DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:41

Ketaatan pada Rais Aam Fondasi Kesinambungan Khittah NU

Senin, 15 Desember 2025 | 15:39

Gubernur Sulut Dukung Penguatan Kapasitas SDM Bawaslu

Senin, 15 Desember 2025 | 15:29

Keselamatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas Utama Selama Nataru

Senin, 15 Desember 2025 | 15:19

Pramono Terima Hasil Kongres Istimewa MKB Demi Majukan Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:12

KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto

Senin, 15 Desember 2025 | 14:54

Command Center Diresmikan Percepat Digitalisasi dan Pengawasan Kopdes Merah Putih

Senin, 15 Desember 2025 | 14:43

Selengkapnya