Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

Ahli Hukum Dorong Pemerintah Dan Perusahaan China Balas Tindakan Sanksi Terbaru AS

JUMAT, 25 JUNI 2021 | 15:20 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Ahli hukum dan pakar China telah mendorong pemerintah juga perusahaan yang masuk ke dalam daftar sanksi baru AS untuk menyerang balik tuduhan Washington yang tidak masuk akal dan tidak berdasar.

Menurut para ahli, perusahaan China dapat melakukan upaya terbaik untuk memperoleh hak mereka.

Pernyataan para ahli menyusul tindakan keras Departemen Perdagangan AS pada Kamis (24/6) yang menempatkan sejumlah produsen bahan panel surya yang berbasis di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang China Barat Laut, ke dalam Daftar Entitas, mengutip klaim 'kerja paksa' di wilayah tersebut.

Perusahaan yang dimaksud adalah Hoshine Silicon Industry (Shanshan), dan tiga perusahaan China lainnya - Xinjiang Daqo New Energy, Xinjiang East Hope Nonferrous Metals dan Xinjiang GCL New Energy Material Technology Co, serta Produksi dan Konstruksi Xinjiang Korps

"Perusahaan China dapat melakukan upaya terbaik mereka untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka karena industri polisilikon adalah sektor padat modal dan teknologi, bukan padat karya," kata Gao Lingyun, pakar di Akademi Ilmu Sosial China di Beijing, seperti dikutip dari Global Times, Jumat (25/6).

"Tanpa bukti nyata 'kerja paksa' yang ditemukan di pabrik-pabrik ini, kebohongan seperti itu akan runtuh," kata Gao.

Sementara Guan Jian, seorang mitra di Firma Hukum Beijing Globe-Law, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan swasta China ini dapat mengajukan permohonan penghapusan dari Daftar Entitas AS dalam kerangka hukum AS.

Penghapusan pembuat ponsel pintar China Xiaomi dari daftar hitam pemerintah AS pada bulan Mei dipandang sebagai kemenangan oleh banyak perusahaan China, dengan mengatakan itu telah memberi contoh bagi mereka tentang bagaimana melawan tindakan keras yang tidak rasional oleh pemerintah AS dengan mengadopsi jalan hukum.

Selain perusahaan China, analis mencatat bahwa Undang-Undang Anti-Sanksi Asing China, yang diberlakukan pada 10 Juni, telah menawarkan lebih banyak alat untuk memblokir sanksi dari AS atau negara lain yang mungkin mengikuti AS.

"Menurut Pasal 12 undang-undang tersebut, setiap organisasi atau individu yang menerapkan atau membantu menerapkan sanksi AS terhadap China dapat dituntut oleh perusahaan dan individu China karena melanggar hukum dan akan diminta untuk menghentikan pelanggaran dan membayar kompensasi," kata Yang Yonghong, seorang profesor hukum di Universitas Ilmu Politik dan Hukum Southwest.

"Politisi, pelobi industri, individu dari perusahaan serta kerabat dari orang-orang ini yang telah terlibat dalam mendorong sanksi AS terhadap China akan dikenai sanksi dengan masuknya mereka ke China ditolak, aset dibekukan dan bisnis di China dibatasi," kata Yang.

"AS tidak memiliki dasar hukum untuk mengambil sanksi sepihak terhadap negara lain dengan alasan 'hak asasi manusia', dan dalam beberapa tahun terakhir, AS telah mempersenjatai dan mempolitisasi 'hak asasi manusia' - lebih sering menggunakannya untuk menggertak negara lain," ujarnya.

Yang juga mencatat bahwa AS menggunakan hak asasi manusia sebagai alasan untuk mempraktikkan hegemoni, dan sebagian besar negara berkembang di PBB telah menyatakan penentangan terhadap sanksi sepihak mereka.

Salah satunya terbukti dalam pertemuan yang diadakan di markas besar PBB di New York pada hari Rabu, 184 negara memberikan suara mendukung resolusi untuk menuntut diakhirinya blokade ekonomi AS di Kuba, untuk tahun ke-29 berturut-turut.

Meskipun tidak pasti sejauh mana larangan baru AS akan mengganggu rantai pasokan industri surya China dan akuisisi bahan baku oleh perusahaan surya China, beberapa perusahaan telah menyuarakan kekhawatiran prospek ekspor ke pasar UE - pasar utama untuk Pembuat panel surya China.

Menurut Asosiasi Industri Fotovoltaik China, China mengekspor 17,4 persen modul surya yang diproduksi di negara itu ke Belanda pada 2019-2020, 12,7 persen ke Jepang, 5,1 persen ke Spanyol, 3,9 persen ke India dan 3,3 persen ke Jerman. 

Populer

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Telkom Buka Suara Soal Tagihan ‘Telepon Tidur’ Rp9 Triliun Pertahun

Kamis, 25 April 2024 | 21:18

UPDATE

Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji!

Senin, 06 Mei 2024 | 05:37

Samani-Belinda Optimis Menang di Pilkada Kudus

Senin, 06 Mei 2024 | 05:21

PKB Kota Probolinggo cuma Buka Pendaftaran Wawalkot

Senin, 06 Mei 2024 | 05:17

Golkar-PDIP Buka Peluang Koalisi di Pilgub Jabar

Senin, 06 Mei 2024 | 04:34

Heboh Polisi Razia Kosmetik Siswi SMP, Ini Klarifikasinya

Senin, 06 Mei 2024 | 04:30

Sebagian Wilayah Jakarta Diperkirakan Hujan Ringan

Senin, 06 Mei 2024 | 03:33

Melly Goeslaw Tetarik Maju Pilwalkot Bandung

Senin, 06 Mei 2024 | 03:30

Mayat Perempuan Tersangkut di Bebatuan Sungai Air Manna

Senin, 06 Mei 2024 | 03:04

2 Remaja Resmi Tersangka Tawuran Maut di Bandar Lampung

Senin, 06 Mei 2024 | 02:55

Aspirasi Tak Diakomodir, Relawan Prabowo Jangan Ngambek

Senin, 06 Mei 2024 | 02:14

Selengkapnya