Ppengamat politik Islam dan demokrasi Dr. Muhammad Najib/RMOL
JUDUL di atas sengaja dipilih sekedar untuk menarik perhatian pembaca, mengingat istilah "Khilafah Islamiah" dan "Khilafah Pancasila" merupakan dua istilah yang layak disandingkan, akan tetapi bukan untuk ditandingkan.
Islam sebagai landasan konstitusi sekaligus landasan spiritual dan moral dalam bernegara ternyata terlalu modern di zamannya, sehingga hanya mampu bertahan selama 28 tahun (632 M-660 M) ditandai dengan empat khalifah setelah ditinggal Rasulullah yang dikenal sebagai Khalifahu Rasyidin (Khalifah yang lurus).
Setelah era Khalifahu Rasyidin model pemerintah demokratis yang berbasis pada prinsip Syura atau musyawarah yang dirintis oleh Rasulullah diganti dengan model kerajaan yang saat itu digunakan oleh bangsa Romawi dan bangsa Parsi.
Menurut Dekan FISIP Universitas Islam Negri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Ali Muhanif, stilah "khilafah" dimaknai sebagai "kepemimpinan" yang bersifat universal. Dalam kontek bernegara modern, ia bisa berbentuk republik atau kerajaan, dapat berbentuk presidensiel atau parlementer.
Indonesia ternyata mengalami hal serupa, karena Pancasila sebagai landasan ideologis sekaligus landasan konstitusional bagi bangsa Indonesia yang didisain oleh para pendirinya sebagai negara modern, ternyata sampai sekarang belum difahami oleh sebagian besar rakyatnya, terlihat dari belum munculnya budaya modern dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa dan negara belakangan ini.
Tulisan-tulisan Nur Cholish Majid terkait tema ini yang dihimpun dalam buku dengan judul: Islam Keindonesiaan dan Kemodernan, tampaknya masih relevan untuk dikaji dan direnungkan sampai sekarang.
Menurut Cak Nur panggilan akrabnya, negara Republik Indonesia yang dibangun di atas fondasi Pancasila, mirip dengan negara Madinah yang dibangun Rasulullah bersama tokoh-tokoh Yahudi, Nasrani, dan penganut kepercayaan lokal. Karena gagasan dan keluhuran akhlaknya, mereka kemudian mendaulat Muhammad bin Abdullah menjadi pemimpinnya.
Saya menduga persoalan kita saat ini, bukan terletak pada pemahaman yang keliru akan perspektif ideologis maupun historis, akan tetapi munculnya fenomena agama yang hanya dijadikan bungkus untuk mendapatkan dukungan politik baik untuk terkait dengan kepentingan pribadi maupun kelompok dalam perebutan kekuasaan.
Fakta ini terlihat nyata pada maraknya penggunaan narasi Islam baik yang merujuk pada Al Qur'an maupun Khadist atau Sunnah di dunia politik, khususnya menjelang Pileg, Pilpres, dan Pilkada.
Bukti lain dapat dilihat pada fakta, meskipun kini negara membuka ruang selebar-lebarnya untuk mengembangkan ekonomi Syariah atau ekonomi berbasis Syar'i yang ditandai dengan berdirinya Bank Syariah Indonesia (BSI) dan dukungan negara terhadap operasi Badan Wakaf, ternyata tidak mendapatkan sambutan antusias baik dari para pelaku usaha muslim, ulama, maupun ormas Islam.
Karena itu sebagai bangsa Indonesia sudah selayaknya kita bersyukur sekaligus berterimakasih kepada para
founding faders yang telah berhasil merumuskan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bukan saja sejalan dengan semangat kemodernan, akan tetapi sejalan dengan semangat ke-Islaman sebagaimana dicontohkan Rasulullah.
Pancasila sebagai landasan ideologis maupun yuridis yang lahir pada saat pertarungan ideologis yang sangat keras, ternyata tidak terkontaminasi oleh berbagai ideologi yang berorientasi pada kehidupan dunia semata.
Pancasila terbukti berhasil dirumuskan sesuai dengan jatidiri atau DNA sejati yang mencerminkan kehidupan masyarakat kita yang moderat, toleran, dan guyub yang dalam terminologi Islam dikenal dengan
wasatiah dan
rahmatanlilalamin.
Karena itu apa salahnya jika saya menggunakan istilah "Khilafah Pancasila", yang bukan mustahil menjadi sebuah model negara Islam di era modern yang menjadi sumbangan bangsa Indonesia kepada dunia Islam yang sampai saat ini masih mencari bentuk model ideal.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.