Berita

Presiden Jor Biden saat mengambil sumpah [ada hari pelantikannya, Rabu 20 Januari 2021Net

Dunia

Survei: Mayoritas Orang Arab Minta Biden Tinggalkan Kebijakan Timur Tengah Era Obama

KAMIS, 21 JANUARI 2021 | 12:33 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Presiden AS Joe Biden di masa awal pemerintahannya dihadapkan kepada tantangan mengenai Timur Tengah. Banyak orang di wilayah itu yang skeptis bahwa AS tidak akan mengubah perlakukannya walau saat ini dipimpin oleh presiden baru.

Survei pan-Arab yang dilakukan pada akhir September tahun lalu oleh Arab News yang bekerja sama dengan YouGov, mendapatkan hasil bahwa sebanyak 49 persen responden mengatakan baik Biden maupun Trump sama tidak baiknya untuk wilayah tersebut.

Sementara mayoritas responden yaitu 58 persen, mengatakan bahwa Biden harus membuang pendekatan ala Obama ke Timur Tengah.


Ini bukan berarti Biden tidak bisa lepas dari warisan pemerintahan Obama, di mana ia menjabat sebagai wakil presiden selama dua periode. Responden berharap penasihat Biden mendengarkan pandangan dari kawasan Arab dalam membentuk kebijakan Timur Tengahnya.

Diberitakan Arab News, Kamis (21/19), dari survei yang dilakukan kepada orang-orang di 18 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, menunjukkan bahwa kebijakan Obama tetap tidak populer di kalangan orang Arab yang kecewa dengan kegagalannya memberikan ‘awal baru’ yang dia janjikan dalam pidatonya di Universitas Kairo pada 2009.

Dalam studi ‘The 2020 US Elections - What do Arabs want?’, yang diterbitkan pada 25 Oktober 2020, juga menunjukkan bahwa 44 persen orang Arab memandang pemberdayaan pemuda sebagai pendorong utama pembangunan global dan percaya itu harus menjadi prioritas bagi Pemerintahan Biden.

Kekecewaan orang Arab terhadap pemerintahan Trump bisa dimengerti. Pada Januari 2017, ia menandatangani perintah eksekutif yang melarang warga negara asing dari tujuh negara mayoritas Muslim mengunjungi AS selama 90 hari. Larangan itu menangguhkan masuknya semua pengungsi Suriah tanpa batas waktu, dan melarang pengungsi lain masuk ke AS selama 120 hari.

Konon, ada kebijakan era Trump yang akan memberi Biden kekuatan alam menghadapi pesaing strategis dan aktor jahat, yaitu soal kebijakan AS terhadap Iran. Sebagian besar responden survei pan-Arab yaitu 49 persen di Arab Saudi, 53 persen di Irak dan 54 persen di Yaman, lebih memilih mempertahankan sanksi ketat dan postur perang Trump.

Perlu dicatat bahwa responden di Irak dan Yaman - dua negara yang memiliki hubungan intim dengan Iran dalam artian mereka dibanjiri oleh aktor non-negara yang dikendalikan oleh Teheran - sangat mendukung untuk mempertahankan garis keras.

Survei tersebut memang menunjukkan pandangan Arab yang beragam tentang pembunuhan komandan militer Iran yang kuat pada Januari 2020, Qassem Soleimani, kepala Pasukan Quds, divisi Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran yang bertanggung jawab atas operasi militer dan klandestin ekstrateritorial.

Namun demikian, secara keseluruhan, temuan tersebut menunjukkan penolakan luas terhadap strategi Presiden Obama dalam menangani ambisi Iran melalui perjanjian nuklir 2015, atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), sambil menutup mata terhadap rencana regional dan agenda ekspansionisnya.

Kesepakatan nuklir dipandang oleh Israel dan sekutu Arab Washington sebagai memberikan kebebasan kepada IRGC untuk menciptakan malapetaka di Suriah, Yaman, Irak, Lebanon, dan Palestina.

Trump menarik AS dari JCPOA pada tahun 2017 dan menerapkan kebijakan ‘tekanan maksimum’ yang secara luas dianggap telah menempatkan Teheran dalam posisi defensif, baik secara strategis maupun finansial.

Menteri Luar Negeri AS pilihan Biden, Anthony Blinken, mengatakan pada sidang konfirmasinya di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat minggu ini bahwa pemerintahan baru memiliki "tanggung jawab mendesak" untuk melakukan apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan Iran memperoleh senjata nuklir.

Dia menambahkan bahwa kesepakatan baru dapat mengatasi "aktivitas destabilisasi" Iran di kawasan itu serta misilnya.

Seperti yang ditulis Nadim Shehadi, rekan pengamat Chatham House di London, baru-baru ini, "Iran memiliki strategi perang terus-menerus yang jelas melawan AS dan, melalui proxy IRGC-nya, negara yang runtuh, membangun lembaga alternatif dan mendapatkan kendali."

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya