Berita

Perpres No. 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme/Net

Publika

Perpres Berbahaya, Mau Dibawa Kemana Negara?

KAMIS, 21 JANUARI 2021 | 09:58 WIB

PRESIDEN telah menandatangani dan memberlakukan Perpres No. 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah "seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia".

Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu?


Terlebih jika dihubungkan dengan "mengancam rasa aman dan stabilitas nasional". Adakah kasus HRS dan FPI yang baru saja terjadi adalah model ancaman yang dimaksud?

Pentingnya kewaspadaan tentu dapat dipahami, akan tetapi jika berlebihan maka menjadi kontra produktif, tidak sehat, serta menciptakan kultur saling curiga.

Sosialisasi hingga pelatihan untuk mengadukan atau melaporkan kepada yang berwenang atas dasar kecurigaan dapat membangun budaya "main lapor" seenaknya atau rekayasa.

Budaya ini berbahaya dan dapat mengancam iklim demokrasi. Sikap kritis akan mudah dituduhkan sebagai ekstrimisme. Sementara pendukung kekuasaan atau mungkin penjilat menjadi nyaman dalam perilakunya yang  sebenarnya juga ekstrim, radikal, atau intoleran. Bernuansa teror pula.

Setelah dibombardir dengan isu dan  program deradikalisasi, anti kemajemukan, dan lainnya kini rakyat ditambah beban baru berupa penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme. Masyarakat terus ditakut-takuti dengan doktrin yang rumusannya bersifat multi tafsir atau bias makna.

Perpres 7/2021 ini berbahaya, karena:

Pertama, dasar hukum Perpres yang tidak kuat. Jika dimaksud adalah UU 5/2018 yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, maka hal ini tidak adekuat. Terorisme memiliki rumusan delik yang jelas sedangkan ekstrimisme tidak.

Semestinya derivasi aturan pun adalah Peraturan Pemerintah bukan Perpres yang merumuskan "ekstrimisme" itu bias dan memungkinkan untuk ditarik kemana-mana meskipun dengan kalimat "berbasis kekerasan"

Kedua, melibatkan banyak kementrian, instansi, atau badan dan lembaga menyebabkan "ekstrimisme" menjadi isu di banyak ruang dan bidang. Program pelatihan kepada penceramah dan ruang ibadah sebagai contoh kegiatan yang dinilai tendensius.

Ekstrimisme yang diatur oleh Perpres menjadi racun baru yang dipaparkan ke publik, doktrin keseragaman, serta legalisasi untuk tindakan membungkam demokrasi.

Ketiga, sosialisasi yang masif dengan melibatkan banyak institusi adalah kebijakan membuka banyak proyek komersial berbasis ideologi. Dana negara  yang akan dihambur-hamburkan atas nama program strategis.

Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada "kegaduhan" radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk  menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi.

Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis. Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan di bawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya.

Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan, ditambah calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa kemana negara ini?

Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris. Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini.

Demokrasi terpimpin telah dimulai.

M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya