RASANYA baru pertama kali dalam sejarah Indonesia sebuah undang-undang yang disahkan oleh DPR, tentunya bersama wakil pemerintah, ternyata barangnya atau UU-nya belum siap.
Biasanya atau tradisinya, karena itulah yang seharusnya, RUU yang akan disahkan atau diketok di DPR itu sudah benar-benar final dan tersedia di meja anggota DPR dan tersedia untuk publik. Setelah diketok itu tidak boleh ada perubahan apapun juga termasuk titik-komanya, apalagi pasal dan ayatnya.
Karena undang-undangnya masih raib, pengesahan itu cacat hukum, ibarat mengesahkan kucing dalam karung, atau pemberian cek kosong tapi entah kepada siapa.
Kita tidak tahu isi persisnya. Jadi menurut pendapat saya pribadi yang awam hukum, UU ini tidak atau belum sah.
Seharusnya setelah draftnya final, segera dibawa lagi ke paripurna DPR untuk disahkan ulang. Agar tidak cacat hukum termasuk bila dibawa/digugat ke MK.
Saat ini sebenarnya publik tidak tahu apa dan siapa yang benar dan siapa yang hoax sampai UU Cipta Kerja resminya tersedia. Bagi saya, paling tidak untuk sementara ini, apa yang dikatakan siapapun juga tentang UU Ciptaker adalah hoax.
Jadi sebaiknya tidak ada yang menuduh atau menuding siapapun sebagai penyebar hoax UU Ciptaker sebelum yang resminya tersedia sebagai pembanding.
Penjelasan dari masing-masing yang pro dan yang kontra bisa jadi sama sama misleading sebab seharusnya setiap issue itu dibandingkan antara yang diatur dalam UU lama dengan yang di UU baru.
Sayangnya UU barunya belum tersedia sehingga belum dapat dilihat perubahan persisnya. Misalnya, buruh bilang cuti dan pesangon dihilangkan/dikurangi, dan Presiden bilang masih ada.
Dua-duanya bisa betul, bisa salah, sebab kita tidak tahu persisnya atau maksudnya masing masing pihak karena masih sebatas interpretasi atau pemahaman mereka yang berbeda beda.
Belum ada yang akurat, belum ada yang bisa di percaya 100 persen. Lagi-lagi karena barangnya masih raib.
Dengan undang-undang yang amat tebal dan komplek itu dapat diduga bahwa sebagian Anggota DPR belum membaca apalagi mengerti apa yang disahkannya itu. Begitu pula di pihak pemerintah, rasanya serupa. Jadi sebenarnya siapa yang memasak atau “menguasai†UU ini?
Kemisteriusan inilah yang memperburuk situasi dan melahirkan spekulasi-spekulasi dan tudingan macam-macam antara lain:
1. Penguasa menuding demo penolakan UU Ciptaker ada yang mendalangi dan membiayai. Pendemo juga menuding bahwa UU Ciptaker ada yang mendalangi/mensponsori/mencukongi.
2. Penguasa bilang bahwa pendemo tidak tahu atau tidak membaca isi UU Ciptaker. Sebaliknya, pendemo juga bilang mereka yang resminya bikin UU ini juga tidak tahu atau belum membaca UU tsb. Ditanya berapa pasal dan ayatnya, insha Allah tidak bisa menjawab. Maklum barangnya masih raib.
3. Pendemo bilang bahwa UU yang sudah diketok itu diduga masih diotak-atik lagi, dengan spekulasi masih ada transaksi dengan sponsor/cukong yang belum tuntas. Pemerintah bilang UU itu tertunda karena sedang dirapikan ketikannya. Kalau ini betul, sungguh ini cerminan kerja amatiran DPR dan Pemerintah.
Tapi ada juga yang berspekulasi bahwa otak-atik itu bertujuan untuk mengakomodasi tuntutan/aspirasi buruh. Tetapi ada juga yang berspekulasi sebaliknya, untuk mengakomodasi cukong yang belum puas. Wallahualam bisawab. Sebab masalahnya memang belum transparan.
4. Ada yang bilang pendemo brutal sampai melukai polisi (ada video yang diviralkan). Sebaliknya, pendemo juga bilang polisi yang brutal menggebuki pendemo yang tertangkap.
Aparat bilang pendemo atau penyusup demo telah merusak fasilitas publik khususnya halte bus. Sebaliknya pendemo menuding bahwa yang merusak fasilitas publik adalah orang orang berseragam hitam dengan satu kaus tangan. Walhasil publik dibikin bingung dan masing-masing pihak (aparat dan pendemo) nampaknya saling kehilangan kepercayaan.
Tentulah silang pendapat dan saling tuding itu masih banyak lagi dan semakin meruncing. UU Ciptaker yang dianggap kontroversial dan demo-demo yang menyertainya itu kini sudah jadi pemberitaan internasional.
Pemerintah dan DPR berargumentasi bahwa UU Ciptaker ini untuk menaikkan investasi, membuka lapangan kerja baru, dan menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Buruh dan penentang UU ini berargumentasi bahwa UU ini mengurangi hak hak buruh, merusak lingkungan, hanya menguntungkan pengusaha besar/oligarki/kroni penguasa dengan menfasilitasi lebih banyak lagi beralihnya kekayaan negara (tambang, hutan dan tanah negara) ke pihak swasta.
Pendapatan negara juga dituding akan berkurang untuk keuntungan pengusaha. Jadi bila pemerintah dan DPR bilang UU ini untuk menyejahterakan rakyat, tapi rakyatnya sendiri beranggapan justru akan menyengsarakan rakyat dan melebarkan jurang kaya-miskin. Walhasil UU Ciptaker ini ibarat yang satu sedang melihat gajah dan yang lain melihat ular piton.
Karena setelah seminggu diketok UU-nya belum juga tersedia (saya kira di negara lain kejadian seperti ini belum pernah ada), saya belum bisa berkomentar pro atau kontra, kecuali bersaran bahwa setelah RUU-nya benar-benar siap dibawa lagi ke DPR untuk disahkan ulang.
Tapi melihat proses pengesahannya yang aneh atau janggal, dan berdasarkan bukti pengalaman gagal dengan pelaksanaan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, insentif-insentif perpajakan, dll, saya kira UU Ciptaker ini hanya melahirkan kericuhan semata, sementara tujuan utamanya yaitu meningkatkan investasi, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, jauh panggang dari api.
Apalagi bila mengharapkan perbaikan pemerataan ekonomi rakyat dan kemiskinan.
Biarlah waktu yang akan membuktikan.
Penulis adalah mantan Menteri Keuangan.