Berita

Dahlan Iskan dan Novi Basuki/Istimewa

Dahlan Iskan

Nurul Jadid

MINGGU, 06 SEPTEMBER 2020 | 05:10 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

INILAH new normal saya: menerima tamu di bawah pohon mangga. Sejak new normal saya memang mulai menerima tamu. Tanpa minuman. Tanpa suguhan.

Kami juga bisa menjaga jarak jauh-jauh. Halaman ini agak luas. Di depan studio gamelan itu.

"Ni Hao!" tiba-tiba seorang tamu menyapa saya dalam bahasa Mandarin.


Padahal agenda saya kemarin adalah menerima tamu dari pondok pesantren Nurul Jadid, Probolinggo dan dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Lalu rombongan dari pesantren di Pasuruan dan dari pondok pesantren Dalwa Bangil dan Mambaus Sholihin Gresik.

"Ni Hao ma," sapa tamu itu lagi.

Dari nada ucapannya, tamu itu seperti benar-benar bisa berbahasa Mandarin. Nada pengucapannya sangat benar.

Alumni Nurul Jadid itu ternyata sudah 10 tahun di Xiamen. Ia kuliah di Xiamen University. Sampai S-2 di situ. Kini ia lagi kuliah S-3 di Guangzhou. Di Sun Yat-sen University. Disertasi doktornya nanti akan ditulis dalam bahasa Mandarin.

Namanya: Novi Basuki.

Umur: 27 tahun.

Novi lahir di lereng gunung Argopuro, Situbondo. Ia anak tunggal dari petani tidak tamat SD di desa Sumber Malang itu.

Sejak tamat SD Novi sudah ingin masuk pondok pesantren Nurul Jadid. Pondok ini memang sangat terkenal. Tapi Novi dianggap masih terlalu kecil untuk pisah dari orang tua.

Letak desa itu jauh di pedalaman. Perlu waktu naik motor 1,5 jam untuk sampai di Nurul Jadid –tidak jauh dari 'kota PLTU' Paiton.

Pondok ini memiliki SD, Ibtidaiyah, SMP, Tsanawiyah, SMA, Aliyah, pun perguruan tinggi.

SMA-nya pun ada dua: yang unggulan dan yang biasa.

Yang SMA unggulan itu muridnya harus bisa tiga bahasa sekaligus: Arab, Inggris, Mandarin.

Begitu tamat SMP Novi masuk SMA unggulan itu. Kalau siang sekolah bahasa. Kalau malam ngaji kitab-kitab agama dalam bahasa Arab.

Novi angkatan keempat di SMA unggulan itu. Guru bahasa Mandarinnya asli dari Tiongkok. Atas bantuan pemerintah sana lewat Konsulat Tiongkok di Surabaya.

Waktu kelas 2 SMA Novi ikut lomba pidato bahasa Mandarin di Surabaya. Peserta non-Tionghoanya hanya tiga: Novi, satu rekannya dari Nurul Jadid, dan satu lagi dari pondok pesantren di Lirboyo Kediri. Selebihnya anak-anak Tionghoa.

Novi juara pertama.

Ia dikirim ke Jakarta. Untuk lomba tingkat nasional. Yang tiga besarnya akan dikirim ke Xiamen, kota terbesar di Provinsi Fujian.

Di Jakarta, Novi juara favorit. Ia pun mendapat beasiswa kuliah di Xiamen. Jurusan bahasa Mandarin pula.

"Juara pertamanya anak Tionghoa dari Pontianak. Sekarang jadi bikkhu Buddha," ujar Novi.

Ia belum tahu kapan bisa kembali ke Guangzhou. Tapi profesor pembimbingnya di sana membuat target bahwa tahun depan Novi sudah harus maju disertasi. Kelihatannya ia akan menulis desertasi tentang Tionghoa Islam di Asia Tenggara.

Selama libur Covid-19 ini Novi pulang ke Situbondo. Ia memanfaatkan waktu untuk menanam sengon di tanah milik ayahnya. Ia juga mulai menanam porang seluas 3 hektare di lereng gunung itu.

"Kalau bisa saya ingin jadi pengusaha," katanya.

"Dapat pacar di Xiamen? Atau di Guangzhou?" tanya saya.

"Pacar saya di dekat Situbondo. Alumni Nurul Jadid dan Pondok Modern Gontor," jawab Novi.

Kemarin Novi ke Surabaya. Itu karena diminta Bu Risma, Walikota Surabaya untuk menjadi penerjemah tamu dari Tiongkok. Tapi tamu itu ternyata batal datang.

Saat kuliah, Novi memang pernah menjadi penerjemah Risma waktu berkunjung ke Xiamen. Waktu itu Pemkot Surabaya minta agar Pemda Xiamen menyediakan penerjemah. Ternyata Pemda Xiamen menunjuk Novi.

Sejak itu setiap ada rombongan dari Surabaya Novi lah yang diminta menjadi penerjemah.

Di antara pondok pesantren yang punya minat jurusan Mandarin, Nurul Jadid jawaranya. Sekarang ini sudah lebih 200 alumni Nurul Jadid yang lulus universitas di berbagai kota di Tiongkok.

Kebetulan guru Mandarin pertama yang diperbantukan ke Nurul Jadid berasal dari suku Hui. Dari kota Chongqing. Berarti ia Islam –semua suku Hui adalah Islam.

Maka guru Mandarin itu tiap hari berkopiah dan bersarung. Setelah masa tugasnya habis ia diganti guru dari suku Han yang tentu saja komunis.

"Tapi ia sering kami ajak bercanda untuk juga memakai sarung. Mau juga," ujar Novi.

Kini SMA unggulan tiga bahasa di Nurul Jadid itu sampai menolak-nolak murid baru. Saking favoritnya. Saya pun ingin bermalam lagi di pondok itu.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Eddy Soeparno Bicara Komitmen Prabowo Percepat Dekarbonisasi

Senin, 15 Desember 2025 | 16:13

Praperadilan Kakak Kandung Hary Tanoesoedibjo Dua Kali Ditolak Hakim

Senin, 15 Desember 2025 | 15:55

Miliarder Siapkan Hadiah Besar Atas Aksi Heroik Warga Muslim di Bondi Beach

Senin, 15 Desember 2025 | 15:48

DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:41

Ketaatan pada Rais Aam Fondasi Kesinambungan Khittah NU

Senin, 15 Desember 2025 | 15:39

Gubernur Sulut Dukung Penguatan Kapasitas SDM Bawaslu

Senin, 15 Desember 2025 | 15:29

Keselamatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas Utama Selama Nataru

Senin, 15 Desember 2025 | 15:19

Pramono Terima Hasil Kongres Istimewa MKB Demi Majukan Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:12

KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto

Senin, 15 Desember 2025 | 14:54

Command Center Diresmikan Percepat Digitalisasi dan Pengawasan Kopdes Merah Putih

Senin, 15 Desember 2025 | 14:43

Selengkapnya