Berita

Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani/Net

Publika

Sekali Lagi Meluruskan Arti Perbandingan Angka Pertumbuhan Yang Sesat Atau Disesatkan

JUMAT, 21 AGUSTUS 2020 | 10:00 WIB | OLEH: FUAD BAWAZIER

DALAM masa Pandemi Covid-19 ini kita sering disajikan atau mendengarkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dan negara negara lain tanpa informasi methode yang digunakan.

Khususnya pertumbuhan ekonomi quartalan dalam tahun 2020, baik untuk menentukan apakah suatu negeri sudah masuk RESESI maupun untuk tujuan atau motip pencitraan.

Karena itu masyarakat sering dibikin bingung dengan angka pertumbuhan ekonomi yang disajikan apalagi yang di banding bandingkan dengan negeri lain tanpa keterangan methode apa yang dipakai sehingga tidak apple to apple.


Pemerintah Indonesia paling “konsisten” dalam melaporkan angka pertumbuhan ekonomi quartalannya yaitu atas dasar perbandingan tahunan (YoY); artinya Quartal 1/2020 dibandingkan dengan Quartal 1/2019 dan ditemukan angka pertumbuhan 2,97%. Masih dengan methode yang sama (YoY) untuk Quartal 2/2020 dibandingkan dengan Quartal 2/2019 minus 5,32%.

Sengaja atau tidak, angka ini sering dibandingkan dengan Laporan angka pertumbuhan Quartalan dari negara lain TANPA menyebutkan perbedaan methode yang digunakan sehingga sebenarnya perbandingan tsb menyesatkan.

Tidak fair. Apalagi acapkali dibumbui dengan pernyataan bahwa angka pertumbuhan ekonomi Indonesia  “terbukti lebih baik” atau “lebih sukses” dari angka di negeri lain. Tentulah ini pernyataan gombal. Sebab angka  pertumbuhan kuartalan YoY tidak pas bila dibandingkan dengan angka pertumbuhan kuartalan QoQ.

Ekonom senior Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies menulis artikel yang meluruskan penyesatan itu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan sudah dimuat di beberapa media onlines, yang intinya secara bebas saya gunakan disini.

Bahwa untuk menentukan resesi yang lazim dipakai adalah perbandingan pertumbuhan ekonomi quartalan dengan methode QoQ.

Artinya quartal ini dibandingkan dengan quartal sebelumnya, seasonally adjusted, di setahunkan ataupun tidak. Bila dua quartal berturut turut pertumbuhannya minus maka dikatakan Resesi.

Bila situasi ini berkepanjangan (melebihi setahun) bisa disebutkan depresi. Tentu ada methode lain seperti dengan melihat pertumbuhan sektor per sektor penting atau yang mempunyai bobot besar dalam ekonomi, misalnya penjualan otomotip, transportasi, pariwisata, industri pengolahan, pertambangan, jumlah PHK dll.

Dari pendekatan ini jelas Indonesia sejak awal tahun 2020 sampai sekarang sudah layak di sebutkan memasuki Resesi.

Tapi kita akan kembali ke methode pertumbuhan ekonomi quartalan, Q1 dan Q2 Indonesia untuk 2020 dibandingkan dengan itu dari negeri negeri lain seperti yang di laporkan Ekonom Anthony Budiawan yang dikutip dibawah ini.

I. Growth QoQ, Kuartal 1 dan Kuartal 2

1. USA: -1,26% dan - 9,49%
2. Germany: -2,00% dan -10,10%
3. Singapore: -0,79% dan -13,06%
4. Indonesia: -0,69% dan -6,95%
5. Korea: -1,28% dan -3,33%
6. Japan:  -0,50% dan -7,37%

Angka angka diatas tidak disetahunkan. Bila disetahunkan, seperti yang angkanya banyak kita lihat di pemberitaan, menjadi sbb.

II. Growth QoQ, Kuartal 1 dan Kuartal 2

1. USA: -4,96% dan -32,90%
2. Germany:  -7,76 dan -34,68
3. Singapore: -3,12 dan -42,87
4. Indonesia: -2,73 dan -25,03
5. Korea: -5,03 dan -12,68
6. Japan: -2,22 dan -26,38
 
Tentu pembaca bisa mencari dan menghitung sendiri pertumbuhan di banyak negara lain tetapi yang dalam tabel diatas hanyalah yang sudah banyak beredar tetapi dengan penafsiran yang keliru. Konon untuk Vietnam dan Filipina angkanya masih  lebih tinggi dari angka pertumbuhan Indonesia.

Melihat angka angka diatas, umumnya ekonom berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dalam quartal 3 masih akan minus dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan, 2021, belum akan seindah pidato pengantar Presiden Jokowi atas Nota Keuangan dan RAPBN 2021.

Dan meski sudah ada UU No. 2/2020, DPR perlu lebih realistis dalam membahasnya termasuk harus menyeriusi pembuatan rambu rambu baru untuk perbandingan atau rasio utang negara terhadap pendapatan negara.

Satu dan lain hal untuk mencegah gagal bayar utang yang dapat menimbulkan krisis baru ekonomi. Dengan kata lain, DPR harus meninjau kembali UU Keuangan Negara No. 17/2003.

Penulis adalah ekonom senior, mantan Menteri Keuangan 

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya