Berita

Din Syamsuddin/Net

Publika

ITB Sangat Butuh Din Syamsudin

SABTU, 27 JUNI 2020 | 00:30 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

SEHUBUNGAN beredarnya pernyataan Yani Panigoro, ketua MWA (Majelis Wali Amanah) ITB, bahwa Prof. Din Syamsudin akan mengundurkan diri dari anggota MWA ITB karena alasan adanya desakan alumni ITB, saya curiga sebagai alasan mengada-ada. Sebab, tuntutan Prof Din Syamsudin mundur dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Alumni ITB Anti Radikalisme atau Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB.

Padahal dalam kealumnian ITB hanya dikenal Ikatan Alumni ITB Pusat dan Ikatan Alumni ITB Daerah serta Ikatan Alumni Jurusan. Semuanya dalam satu wadah resmi yang diketuai Dr. Ridwan Jamaluddin.

Alasan yang ditujukan terhadap penolakan Din sebagai anggota MWA bahwa Prof. Din radikal sangat membingungkan. Pertama, Din dikaitkan radikal karena pernah menghadiri acara HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada tahun 2007. Padahal pada tahun 2017, sepuluh tahun kemudian, Presiden Jokowi mengangkat Prof. Din Syamsudin sebagai utusan khusus presiden untuk Dialog dan Pembangunan Perdamaian serta Peradaban Dunia.

Pada saat ditanya wartawan alasan pengangkatan Din setingkat menteri itu, Jokowi menyebutkan dia sudah mengetahui jejak rekam dan pondasi kokoh Prof. Din di bidang tersebut. Bahkan, Jokowi merayu Professor Din untuk mau menerima amanah itu demi kepentingan negara.

Kedua, Din disebutkan mengkritik MK (Mahkamah Konstitusi) atas hasil Pilpres 2019 yang lalu. Alasan ini juga membingungkan. Sebab, Din Syamsudin kala itu meminta masyarakat agar menerima legalitas hasil Pilpres yang diputuskan MK, namun tetap perlu menyimpan rasa curiga atas keputusan MK yang terasa ganjil tersebut.

Dalam posisi ini sebenarnya Prof. Din Syamsudin memberikan kanalisasi pada emosi puluhan juta rakyat yang merasa Pilpres diwarnai berbagai kecurangan. Sehingga, harusnya sikap Prof. Din Syamsudin ini dikatagorikan sikap negarawan, bukan radikal.

Ketiga, Prof. Din Syamsudin dikatakan banyak mengkritik pemerintahan Jokowi. Hal ini melanggar Statuta ITB dan MWA ITB yang mengatakan bahwa hubungan ITB dan pihak pemerintah harus baik-baik saja.

Hal ini sedikit membingungkan, karena ITB dan jajaran professornya dari dulu tercatat sangat lumrah bersikap kritis terhadap pemerintah. Pada masa Soeharto, bahkan rumah Rektor ITB Professor Iskandar Alisyahbana dihujani peluru oleh tentara pendukung rezim Suharto, karena rektor tersebut mendukung gerakan mahasiwa ITB 77/78 yang meminta Soeharto lengser. Sampai akhir hayatnya, Professor Iskandar Alisyahbana tidak menyesal mendukung gerakan mahasiswa saat itu.

Kebebasan ilmiah telah membuat kampus ITB terkenal menghargai sikap kritis. Dengan demikian, sikap Prof. Din Syamsudin yang saat ini sering kritis terhadap pemerintah Jokowi harus dimaklumi sebagai bagian demokrasi, yang sejak dulu diperjuangkan ITB.

Perlu dicatat bahwa ITB harus berkembang pesat untuk memajukan industrialisasi dan kualitas pendidikan tinggi kita. Peranan industri yang terus merosot, diukur dengan kontribusinya bagi PDB, sudah mencemaskan saat ini.

Kontribusi sektor industri di masa SBY, 2008, masih sebesar 27,8% terhadap PDB. Namun, di masa Jokowi, kuartal 3/2019, kontribusi sektor industri hanya 19,8% saja.

ITB QS Ranking pun masih pada nomor 331, jauh di bawah University Malaya, pada urutan 59 dunia, pada tahun 2020.

Untuk memajukan ITB, jaringan internasional sangat dibutuhkan dari berbagai pihak terkait ITB. Kehadiran Prof Din Syamsudin yang mempunyai relasi kuat ke Vatikan, PBB, PKC-RRC, tokoh-tokoh politik Amerika dan lainnya tentu sangat perlu bagi ITB agar konektivitas terhadap dunia global semakin cepat terjadi. Sebab, konektivitas adalah kata kunci kemajuan institusi, seperti ITB, di masa datang.

Dengan demikian, daripada menghujat Professor Din Syamsudin secara brutal dengan menuduh radikal, lebih baik senat akademik ITB mempertahankan keberadaan Professor Din Syamsudin di MWA ITB tersebut.

Penulis adalah alumni Geodesi ITB, alumni Paskasarjana Studi Pembangunan ITB

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya