Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Umat Islam Menghadapi Bangkitnya Komunisme

SABTU, 23 MEI 2020 | 14:10 WIB

KEBERADAAN kader PKI bukan isapan jempol. PKI terselubung bergerak ke berbagai lembaga yang ada. DPR adalah tempat sembunyi yang sangat terang.

Pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) merupakan bukti eksistensi menuju pembelokan arah ideologi negara. Bangsa Indonesia terkejut sudah sejauh ini mereka berniat untuk mengotak-atik ideologi Pancasila.

Partai-partai khususnya partai pemenang pemilu yang diandalkan oleh kader PKI semestinya waspada pada penyusupan, penunggangan, atau mungkin suaka politik.


Gerakan amuboid PKI yang menempel sebagai parasit bekerja sangat aktif. Ada anggapan bahwa saat ini adalah momentum untuk bangkit. Apalagi 23 Mei 1920 tepatnya 100 tahun yang lalu adalah berdirinya PKI dalam Kongres ISDV Semarang.

Menguatnya hubungan negara RI dengan RRC telah membangun kepercayaan diri dari para aktivis di dalam negeri. Baru di era pemerintahan ini Partai Komunis China dapat menginjakkan kaki di Istana Negara.

Pelukan erat politik mengesankan terjadinya perdamaian dengan negara virus komunisme. Kerjasama antar partai pun berjalan meski di permukaan masih dalam skala terbatas. Soal investasi atau utang luar negeri itu yang tak terbatas. Dan di bidang ini justru pengaruh China dan komunisme dimainkan.

Sikap umat Islam menghadapi geliat, bangkit, dan bergeraknya kekuatan PKI tersebut adalah:

Pertama, memperkuat benteng keimanan dengan keyakinan bahwa komunisme termasuk "jalan syetan" yang membawa kehinaan hidup di dunia dan akherat. Berjuang melawannya adalah jihad fie sabilillah.

Kedua, memperkuat persaudaraan sesama kelompok perjuangan baik keumatan maupun lainnya. Mewaspadai adu domba yang dapat memecah belah dan melemahkan persatuan dan kesatuan. Kebersamaan adalah kekuatan dalam mengawal NKRI.

Ketiga, dalam kesejarahan PKI itu adalah "musang berbulu domba" seolah berjuang untuk rakyat tetapi memiliki pola kekuasaan yang kejam dan menindas rakyat. Komunisme itu faham yang nir-moral "menghalalkan segala cara".

Keempat, umat Islam segera membentuk front-front anti komunis atau apapun namanya yang fokus pada perlawanan terhadap gerakan komunis yang semakin masif dan selalu mendekat serta sembunyi di ketiak kekuasaan.

Kelima, sebagaimana seruan MUI lembaga keagamaan harus ikut mengawasi masuknya TKA Cina yang datang bergelombang. Patut dicurigai mereka adalah tentara atau milisi yang menyamar sebagai pekerja.

Keenam, memperkokoh silaturahmi dan komunikasi antara lembaga perjuangan anti komunis dengan instansi TNI maupun Polri agar langkah dan tindakan dapat terkendali dan senantiasa berbasis hukum.

Ketujuh, jika PKI disinyalir bangkit, maka umat Islam dan umat beragama yang  sering ditempatkan sebagai musuh komunisme, harus bangkit pula. Berteriak mendesak Pemerintah dan aparat keamanan untuk bertindak serius terhadap ancaman perkembangan PKI tersebut.

Kedelapan, konstelasi di DPR menjadi pelajaran betapa pentingnya koordinasi anggota DPR lintas Fraksi yang memiliki kepentingan sama dalam melawan kebangkitan PKI. Kekuatan umat Islam maksimal mensupport perjuangan anggota Dewan yang istiqomah.

Menarik pengakuan tokoh politik dan anak PKI bahwa meskipun PKI sudah tidak ada tetapi paham komunisme tidak akan hilang. Selalu melekat dan tumbuh di dada mereka yang pernah terbina atau aktif dalam perjuangan membela paham komunis tersebut.

Ini artinya semangat untuk "reborn" dan "revive" dari ideologi dan gerakan  komunis di Indonesia selalu meningkat.

Umat Islam tidak boleh lengah. PKI di dalam sejarah perkembangannya selalu berakhir dengan pemberontakan atau pengambil alihan kekuasaan. PKI bukan saja tidak pernah kapok tetapi bandel. Mungkin karena paham yang tak pernah padam itu.

Meskipun demikian, semangat umat Islam pun tak pernah padam untuk membasmi PKI dan komunisme sampai ke akar-akarnya.

Haram negara dan bangsa Indonesia ini disentuh oleh ideologi komunis. Siapapun yang berpihak kepadanya akan dilibas dan diberantas!

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

PIP Berubah Jadi Kartu Undangan Kampanye Anggota DPR

Senin, 15 Desember 2025 | 06:01

Perpol versus Putusan MK Ibarat Cicak versus Buaya

Senin, 15 Desember 2025 | 05:35

Awas Revisi UU Migas Disusupi Pasal Titipan

Senin, 15 Desember 2025 | 05:25

Nelangsa Dipangku Negara

Senin, 15 Desember 2025 | 05:06

Karnaval Sarendo-Rendo Jadi Ajang Pelestarian Budaya Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 04:31

Dusun Bambu Jual Jati Diri Sunda

Senin, 15 Desember 2025 | 04:28

Korupsi di Bandung Bukan Insiden Tapi Tradisi yang Dirawat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:10

Rektor UI Dorong Kampus Ambil Peran Strategis Menuju Indonesia Kuat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:06

Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa

Senin, 15 Desember 2025 | 03:31

Jangan Keliru Tafsirkan Perpol 10/2025

Senin, 15 Desember 2025 | 03:15

Selengkapnya