Berita

Dr. Muhammad Najib

Muhammad Najib

Yang Sakral Dan Profan Dalam Politik

SENIN, 27 APRIL 2020 | 22:14 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

DIKOTOMI istilah "sakral" dan "profan" diperkenalkan oleh seorang ilmuwan sosial asal Perancis bernama Emile Durkheim. Namanya sering disebut ketika orang membahas berbagai fenomena sosial dalam masyarakat beragama.

Dulu Nurchlolis Masjid sering meminjam teori Durkheim ini, untuk menjelaskan sesuatu yang tidak boleh diubah dan yang boleh diubah, bahkan dianjurkan untuk diubah dalam Islam. Perubahan diperlukan sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Bagi Cak Nur wilayah ini bagian dari wilayah tajdid.

Contoh yang masuk wilayah sakral seperti bentuk ibadah yang sudah baku sehingga terlarang untuk diubah, bahkan mempertanyakanpun dilarang. Wilayah ini oleh para ulama disebut sebagai ibadah mahdzah, seperti Shalat baik tata cara maupun jumlahnya, puasa, zakat, dan seterusnya.

Sementara yang masuk wilayah profan seperti semua ilmu pengetahuan, sain, dan teknologi beserta produk hilirnya, merupakan bagian dari wilayah profan yang menuntut perubahan terus-menerus. Disinilah pintu iztihad terbuka sangat lebar.

Para ulama menyebut wilayah ini sebagai ibadah gairu mahdzah. Untuk hal-hal yang bersifat fisik tentu lebih mudah, dibanding yang bersifat non fisik seperti pemahaman, gagasan, dan konsep. Padahal semua ini mempengaruhi perilaku manusia di masyarakat.

Pembahasan masalah ini penting karena ada perintah Allah dalam Al Qur'an dalam surah Al Baqarah 208, agar setiap muslim menjalankan Islam secara kaffah. Para ulama pada umumnya memaknai kata "kaffah" dengan "total" atau "keseluruhan".

Kebanyakan para ulama memaknainya sebagai perintah kepada setiap muslim untuk menjalankan semua perintah Allah tanpa pilih-pilih. Penjelasan umum seperti ini tentu tidak salah, akan tetapi menyisakan pertanyaan lanjutan. Bagaimana dengan realitas adanya keterbatasan kapasitas atau kemampuan manusia itu sendiri ?

Analoginya, ilmu Allah itu sangat luas, tentu tidak mungkin semuanya akan dipelajari oleh satu orang, sehingga setiap orang harus memilih. Atau ilmu itu dibagi-bagi dan dikelompokkan, kemudian dibagi-bagi, sehingga setiap orang dapat mempelajari sebagian sesuai dengan minat dan kapasitasnya.

Seperti ketika memasuki perguruan tinggi, setiap calon mahasiswa harus memilih fakultas tertentu, yang kemudian dibagi lagi menjadi Jurusan tertentu.

Dengan meminjam teori Durkheim, maka dengan mudah dapat ditempatkan bahwa dunia politik, khususnya dalam maknanya: who, get what, when, and how, masuk dalam wilayah profan. Bagi para politisi muslim, muncul pertanyaan bagaimana agar semua kegiatan di wilayah ini agar bernilai ibadah ?

Disinilah hadist yang berbunyi: sesungguhnya nilai setiap perbuatan tergantung pada niatnya, memiliki maknanya yang sangat dalam. Para politisi dalam konteks ini sesungguhnya ibarat pisau bermata dua, dia bisa mengantarkan negara kepada kebaikan, jika diniatkan sebagai pengabdian pada bangsanya atau sebagai bagian dari bentuk ibadah kepada sang Khaliq.

Akan tetapi para politisi  juga bisa mengantarkan pada bencana, bila niatnya sekadar untuk mengejar kekuasaan, mengumpulkan harta, atau hal-hal lain yang menjadi perhiasan dunia. Hal ini banyak dibahas oleh seorang ilmuwan Italia bernama Machiavelli.

Jika masalah yang menentukan sebuah negara akan dibawa kepada kebaikan atau keburukan oleh para politisinya hanya ditentukan oleh niat, yang tidak mudah dibaca publik, apalagi para politisi konon lebih hebat dari para aktor film dalam membungkus niat yang sesungguhnya.

Hal inilah yang menyebabkan dari masa ke masa, masyarakat sebagian besar kecewa dengan para politisinya. Dengan kata lain, sedikit sekali para politisi yang bisa menjadi negarawan, dan lebih sedikit lagi yang kemudian diakui sebagai pahlawan.

Untuk itulah Al Qur'an memperingatkan berulang-ulang, khususnya pada politisi yang menggunakan agama sebagai instrumen dalam perjuangannya, dengan metafora: janganlah menjadi seperti mereka yang menjual agama dengan harga yang murah, menukarkan urusan akhirat dengan dunia.

Dalam Al Qur'an, peringatan ini sudah diberikan kepada pengikut Nabi Musa  (Yahudi), pengikut Nabi Isa(Nasrani), disamping pengikut Nabi Muhammad (Islam).

Peringatan ini menunjukkan dengan jelas, adanya kerentanan yang dihadapi tokoh-tokoh agama yang terjun ke dunia politik. Karena itu, sejatinya beban sekaligus tanggungjawab  yang berada dipunggung para tokoh agama, jauh lebih lebih berat dari pada masyarakat awam. Wallahua'lam.

Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

UPDATE

Kini Jokowi Sapa Prabowo dengan Sebutan Mas Bowo

Minggu, 28 April 2024 | 18:03

Lagi, Prabowo Blak-blakan Didukung Jokowi

Minggu, 28 April 2024 | 17:34

Prabowo: Kami Butuh NU

Minggu, 28 April 2024 | 17:15

Yahya Staquf: Prabowo dan Gibran Keluarga NU

Minggu, 28 April 2024 | 17:01

Houthi Tembak Jatuh Drone Reaper Milik AS

Minggu, 28 April 2024 | 16:35

Besok, MK Mulai Gelar Sidang Sengketa Pileg

Minggu, 28 April 2024 | 16:30

Netanyahu: Keputusan ICC Tak Membuat Israel Berhenti Perang

Minggu, 28 April 2024 | 16:26

5.000 Peserta MTQ Jabar Meriahkan Pawai Taaruf

Minggu, 28 April 2024 | 16:20

Kepala Staf Angkatan Darat Israel Diperkirakan Mundur dalam Waktu Dekat

Minggu, 28 April 2024 | 16:12

Istri Rafael Alun Trisambodo Berpeluang Ditersangkakan

Minggu, 28 April 2024 | 16:05

Selengkapnya