INSYAALLAH umat Islam di Indonesia akan memulai puasa secara serentak, karena 1 Ramadhan tahun ini akan jatuh pada hari Jumat, 24 April. Begitu juga 1 Syawal saat merayakan Hari Raya Idhul Fitri tahun 2020.
Menurut pakar astronomi yang memimpin Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof. Thomas Jamaluddin, yang bahkan sudah memprediksi keserentakan memasuki bulan suci Ramadhan bukan hanya pada tahun ini, akan tetapi juga insyaAllah pada tahun depan.
Hal ini terjadi dikarenakan posisi bulan pada 29 Sya'ban 1441 H atau Magrib 23 April 2020, akan berada pada ketinggian di atas 3 derajat di Indonesia bagian Barat.
Lebih lanjut Prof. Jamaluddin menyatakan perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah di dalam menetapkan 1 Ramadhan (puasa) dan 1 Syawal (Idhul Fitri) bukan karena perbedaan metoda yang selama ini dikenal dengan sebutan hisab (untuk Muhammadiyah) dan rukyah (untuk NU), akan tetapi perbedaannya pada kriteria.
Jika NU menggunakan kriteria di atas 2 derajat baru dinyatakan masuk bulan baru, sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria di atas nol derajat. Kriteria yang digunakan NU lazim dikenal dengan sebutan Imkanu Rukyah, sedangkan yang digunakan Muhammadiyah dikenal dengan metoda Hisab.
Dengan demikian jika dua organisasi besar yang mewakili sebagian besar umat Islam Indonesia ini, demi kemaslahatan umat kemudian bermusyawarah memyepakti kriteria tinggi bulan untuk menetapkan pergantian bulan dalam kapender hijriyah, maka kedepan tidak ada lagi perbedaan dalam menetapkan Ramadhan dan Idhul Fitri.
Bila hal ini terjadi, maka tradisi melihat bulan menjelang Ramadhan dan Idhul Fitri akan bergeser menjadi fenomena budaya, karena kapan Ramadhan dan kapan Idhul Fitri sudah diketahui jauh sebelumnya dengan bantuan sain dan teknologi, apalagi peralatan yang ada semakin hari semakin canggih. Disinilah pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan, sain, dan teknologi dalam menjalankan agama.
Masalah penetapan 1 Syawal dan 1 Ramadhan sejatinya hanya satu kasus dari banyak hal, dimana umat Islam memerlukan dukungan ilmu pengetahuan, sain, dan teknologi agar bisa melaksanakannya dengan baik.
Dalam ilmu kedokteran, masalah ini jauh lebih rumit dan menantang. Salah satu contoh, saat ini kita menghadapi mewabahnya virus covid-19 (Corona). Tanpa mengenali secara baik jenis virus ini dan bagaimana sebenarnya cara penyebarannya, kemudian bagaimana cara menangkalnya, maka selama itu umat Islam akan sulit mutuskan berapa lama atau berapa kali diizinkan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat di masjid.
Dalam bidang ekonomi tentu lebih pelik lagi, kemajuan teknologi komputer telah mengubah secara besar-besaran bagaimana transaksi dilakukan, ditambah uang sebagai nilai tukar kini wujudnya muncul dalam berbagai bentuk. Dalam situasi seperti ini pendekatan fiqih konvensional tidak memadai lagi, apalagi kalau hanya berhenti sampai pada kriteria: halal, haram, mubah, dan subhat.
Masih banyak lagi wilayah yang bisa dielaborasi sebagai contoh, jika Islam ingin menjawab seluruh aspek kehidupan yang kini dihadapi umat manusia, agar benar-benar dapat menjadi
rahmatan lil alamin sebagaimana pesan Al Quran.
Idealnya dengan Islam, umat Islam atau ilmuwan Islam memberikan konstribusi dalam mencari solusi. Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, sain, dan teknologi. Wilayah ini termasuk pada wilayah ayat-ayat qauniah, bila hendak memggunakan terminologi Al Qurn. Tanpa itu, maka umat Islam hanya akan menjadi beban.
Wallahualam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.