Dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, sejak 2011 hingga 2019, ada 37.381 aduan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Itu Dari jumlah tersebut, pelaporan kasus bullying atau perundungan, di dunia pendidikan maupun media sosial mencapai 2.473 laporan.
“Trennya terus meningkat, data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es,†kata Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, Sabtu (8/2).
Selain itu, dari Januari hingga Februari, setiap harinya KPAI juga banyak melihat dan membaca berita fenomena kekerasan anak. Persoalan tersebut tentu sangat disadari dan harus menjadi keprihatinan bersama.
“Kalau melihat skala dampak yang disebabkan dari tiga peristiwa di atas, memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal,†ujar Jasra.
Menurutnya, meski secara fisik dan daya belajar anak cenderung baik, dan memiliki prestasi. Akan tetapi, anak-anak tidak siap dalam menghadapi realitas, sehingga terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental dan dapat bereaksi agresif seperti
bullying.“Umumnya
bullying adalah perbuatan berulang-ulang yang dilakukan anak. Pemicunya sangat banyak karena kontrol sosial masyarakat yang berubah lebih agresif dan cepat, sangat mudah ditiru anak. Begitupun represif yang berulang-ulang,†jelasnya
Jasra memaparkan,
bullying bisa terjadi karena tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, dan penghakiman media sosial. Permasalahan tersebut menjadi kisah yang berulang karena bisa diputar balik, dan tidak ada batasan untuk anak-anak mengkonsumsinya kembali
“Sayangnya kondisi yang mengganggu anak tersebut, tidak banyak penyaringannya bila terjadi di media sosial, keluarga, sekolah, dan lingkungan,†tutup Jasra.