Berita

Batara R. Hutagalung/Net

Publika

22 Desember: Hari Juang Perempuan Indonesia

MINGGU, 22 DESEMBER 2019 | 17:43 WIB

SETIAP tanggal 22 Desember, rakyat Indonesia mengadakan peringatan yang dinamakan Hari Ibu.
 
Sebagaimana pada banyak persitiwa sejarah dan peristiwa bersejarah yang penting untuk bangsa Indonesia, karena kurangnya penjelasan mengenai persitiwa tersebut, maka maknanya bergeser, atau hilang makna sebenarnya. Demikian juga dengan yang dinamakan Hari Ibu.
 
Kalau melihat ucapan-ucapan Selamat hari Ibu dengan gambar-gambar atau foto-foto yang ditampilkan, semua hanya yang berkaitan dengan seorang wanita yang lembut, atau bersama anak kecil/bayi.


Latar Belakang Sejarah

Kongres Perempoean Indonesia I

Peristiwa bersejarah yang terjadi pada 22 Desember adalah diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Dua bulan setelah diselenggarakannya Kongres Pemuda II yang menghasilkan Ikrar Putra-Putri pribumi yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Pada waktu itu putra-putri pribumi mencetuskan gagasan mendirikan Bangsa dan Negara Bangsa (Nation State) yang diberi nama Indonesia. Juga menyatakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Kongres Pemuda ke-II ini juga memberi inspirasi diselenggarkannya Kongres Perempuan Indonesia I.

Dengan diselenggarkannya Kongres Wanita Indonesia pertama bulan 1928, terlihat gerakan kebangkitan nasional telah menjalar ke seluruh lapisan dan elemen masyarakat di wilayah jajahan Belanda, tidak terkecuali wanita-wanita pribumi yang juga sudah berpartisipasi dalam gerakan kebangsaan, bukan hanya perlawanan di daerah-daerah masing-masing. Para pemudi pribumi banyak yang ikut dalam Kongres Pemuda pada 27 dan 28 Oktober 1928.
 
Kongres Perempuan Indonesia I diikuti oleh 30 organisasi perempuan pribumi dari Jawa dan Sumatera. Juga dari berbagai latar belakang keagamaan. Pada acara pembukaan tanggal 22 Desember 1928, hadir sekitar 600 orang, termasuk pengawas dari pemerintah kolonial. Tidak ada organisasi perempuan Cina, atau Indo atau Belanda yang ikut hadir.
 
Yang dibahas adalah masalah pendidikan, masalah-masalah sosial budaya, termasuk membandingkan dengan perempuan di Eropa, masalah pernikahan, dan lain-lain.

Kongres Pemuda II berhasil membentuk wadah bersama yang menampung organisasi-organisasi pemuda pribumi yang semula berdasarkan daerah, suku dan agama menjadi organisasi 'Indonesia Muda.'

Kongres Perempuan Indonesia I ini juga berhasil membentuk organisasi bersama, yaitu 'Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).'

Dengan demikian, kaum perempuan pribumi di wilayah jajahan Belanda juga berperan dalam membentuk Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia.
 
Dalam Kongres Perempuan ke III di Bandung tahun 1938, tanggal 22 Desember dinyatakan sebagai Hari Ibu. Tahun 1946 nama Kongres Perempuan Indonesia diganti menjadi Kongres Wanita Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Kowani.
 
Berdasarkan Keppres No. 316 tahun 1959, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu. Penamaan ini yang mengakibatkan interpretasi yang keliru mengenai perjuangan perempuan dan makna dari Kongres Perempuan Indonesia itu sendiri.
 
Oleh karena itu, untuk kembali ke semangat juang dan makna perjuangan tersebut, maka sebaiknya nama Kongres Wanita Indonesia kembali menjadi Kongres Perempuan Indonesia.
 
Demikian juga untuk menghindari pemahaman yang keliru, nama Hari Ibu diganti menjadi Hari Juang Perempuan Indonesia.
 
Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Ibu/Hari Juang Perempuan Indonesia mulai tahun 2020, gambar-gambar atau foto-foto yang ditampilkan bukan lagi sosok perempuan dengan bayi, melainkan harus ditampilkan sosok perempuan Indonesia pejuang, seperti Cut Nyak Dhien, Keumalahayati (Malahayati, yang menang bertarung melawan Cornelis de Houtman), Christina Martha Tiahahu, Lopuan (putri Sisingamangaraja XII yang gugur bersama ayah dan dua saudara laki-laki dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907), Soerastri Karma Trimurti (Menteri perempuan Indonesia pertama) dan sosok-sosok perempuan pribumi pejuang lain.

Kalau sekarang di abad 21 ada perempuan Indonesia yang katanya memperjuangkan emansipasi atau kesetaraan gender di Indonesia, maka dia buta sejarah.

Karena memahami sejarah dan nilai-nilai sejarahnya, maka pada 22 Desember saya tidak menulis atau mengucapkan Selamat Hari Ibu, melainkan 'Dirgahayu Hari Perjuangan Perempuan Indonesia'.

Batara R. Hutagalung
Sejarawan Indonesia

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Eddy Soeparno Bicara Komitmen Prabowo Percepat Dekarbonisasi

Senin, 15 Desember 2025 | 16:13

Praperadilan Kakak Kandung Hary Tanoesoedibjo Dua Kali Ditolak Hakim

Senin, 15 Desember 2025 | 15:55

Miliarder Siapkan Hadiah Besar Atas Aksi Heroik Warga Muslim di Bondi Beach

Senin, 15 Desember 2025 | 15:48

DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:41

Ketaatan pada Rais Aam Fondasi Kesinambungan Khittah NU

Senin, 15 Desember 2025 | 15:39

Gubernur Sulut Dukung Penguatan Kapasitas SDM Bawaslu

Senin, 15 Desember 2025 | 15:29

Keselamatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas Utama Selama Nataru

Senin, 15 Desember 2025 | 15:19

Pramono Terima Hasil Kongres Istimewa MKB Demi Majukan Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:12

KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto

Senin, 15 Desember 2025 | 14:54

Command Center Diresmikan Percepat Digitalisasi dan Pengawasan Kopdes Merah Putih

Senin, 15 Desember 2025 | 14:43

Selengkapnya