Berita

Foto:Net

Publika

Daulat Rakyat Dan Sistem Perwakilan

JUMAT, 20 DESEMBER 2019 | 09:57 WIB

SALAH satu poin penting dalam amandemen ketiga UUD NRI 1945 pada 2001 adalah perubahan mekanisme pemilihan presiden, dari sebelumnya dipilih oleh MPR menjadi dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.

Perubahan ini terjadi sebagai konsekuensi dari adanya tuntutan pada era reformasi berupa keinginan untuk menguatkan daulat rakyat terhadap pemerintah, serta upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam merealisasikan objektif tersebut, perubahan mekanisme pemilihan presiden ini diikuti dengan pembuatan UU Pemilu sebagai kerangka penyelenggaraan Pemilu yang bersifat terbuka dan demokratis.


Era reformasi tidak hanya menyuguhkan perubahan di level pusat, tapi juga menyentuh level daerah, yakni provinsi, kabupaten, dan kota. Sejak 2005, pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota tidak lagi melalui DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya presiden.

Perubahan mekanisme ini menguatkan harapan masyarakat daerah akan munculnya putera daerah yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang berkarakter, serta mampu menuntun daerah dan segenap masyarakat untuk mengoptimalkan potensi sumber daya yang dimiliki bagi kemajuan bersama.

Selang 18 tahun pasca amandemen ketiga, tepatnya setelah momen terpilihnya Presiden Joko Widodo untuk periode kedua pada 2019, menguat wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan presiden, termasuk juga para kepala daerah, ke era sebelum reformasi.

Wacana ini didengungkan oleh beberapa partai politik pendukung pemerintah. Seperti lazimnya dinamika kehidupan politik, selalu ada kontra wacana terhadap suatu ide atau gagasan. Pihak yang paling persisten menolak usulan ini adalah kelompok masyarakat sipil, partai oposisi, serta beberapa pentolan lembaga survei yang aktif manyuarakan opininya.

Usulan mekanisme pemilihan presiden dan kepala daerah ini perlu dikaji secara mendalam untung ruginya, tidak serta-merta diterima atau ditolak. Perlu dikedepankan kajian akademik dengan berpijak pada aspek kausalitas ide dan keilmuan secara ilmiah.

Secara garis besar, kontestasi wacana pemilihan presiden dan kepala daerah ini dapat dikatakan sebagai upaya merasionalisasi pilihan antara mengedepankan daulat rakyat atau bertumpu pada sistem perwakilan.

Secara ontologi, kedua pilihan tersebut memiliki basis legitimasi masing-masing. Mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat merupakan ejawantah dari prinsip demokrasi yang diyakini sebagai sistem politik. Sedangkan mekanisme perwakilan bertumpu pada sila keempat Pancasila sebagai dasar negara.

Apabila yang menjadi pijakan dari kedua mekanisme ini dibenturkan, maka opsi sistem perwakilan pada dasarnya memiliki basis legitimasi yang lebih kuat. Dalam sila keempat Pancasila disebutkan secara tersurat bahwa suara masyarakat dapat dihimpun dalam bentuk musyawarah mufakat dan perwakilan. Yang menjadi penekanan di sini adalah konsep perwakilan sebagai penyambung lidah rakyat.

Kemudian apabila konsep demokrasi diletakkan sebagai pijakan pemilihan langsung oleh rakyat, yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah demokrasi yang seperti apa? Tentu saja model demokrasi yang seyogianya dianut adalah model demokrasi Pancasila dengan sila keempat sebagai rujukannya.

Dalam menilik opsi-opsi ini, telaah terhadap kausalitas opsi juga harus dikedepankan, apa yang menjadi penyebab ide itu muncul. Publik selaiknya menilai secara cermat skema pemilihan langsung sebagai terobosan di era reformasi dan kritik terhadap kebobrokan sistem politik di era orde baru.

Kemandulan MPR pada masa orde baru dalam memilih presiden lebih disebabkan karena belenggu otoritarianisme orde baru yang mana partai politik pada waktu itu mendapat intervensi dan kontrol ketat dari pemerintah. Begitu juga dengan utusan daerah dan golongan tidak sepenuhnya dapat dijadikan sebagai representasi rakyat.

Tentu saja merupakan sebuah distorsi apabila kualitas MPR dijadikan sebagai pijakan perbandingan, sedangkan situasi politik pada masa itu jauh dari kata demokratis. Setali tiga uang dengan MPR, DPR pada masa orde baru justru mandapat julukan sebagai "tukang stempel". Hal ini berbeda dengan postur parlemen sekarang yang mana posisi eksekutif dan parlemen sangat sehat dan seimbang.

Lantas bagaimana dengan kasus pemakzulan Gus Dur yang kerap dijadikan sebagai basis kritik terhadap usulan pemilihan presiden oleh MPR? Jatuhnya Gus Dur di era reformasi merupakan konsekuensi pertarungan politik pada waktu itu dimana demokrasi Indonesia masih berusia sangat muda, bahkan belum bisa dikatakan sebagai situasi demokratis yang sesungguhnya.

Para penyintas orde baru pun masih bergeliat mencari celah agar masuk ke sistem politik, sementara para pendukung reformasi terjebak pada euforia dan perebutan kekuasaan.

Kausalitas adalah instrumen lain untuk mencari model terbaik dalam proses pemilihan. Wacana pemilihan melalui MPR dan DPRD harus dilihat secara positif sebagai sebuah model sebab-akibat. Berdasarkan pernyataan sebuah lembaga survei terkemuka, pemilihan presiden sedikitnya menghabiskan dana sebesar Rp. 7 triliun, sedangkan untuk kepala daerah mencapai Rp. 30 miliar.

Bilangan rupiah tersebut sudah pasti membawa konsekuensi terhadap calon, khususnya pasca terpilih pada Pemilu. Inilah yang menjadi akar munculnya korupsi sistemik. Konsekuensi negatif lainnya adalah menguatnya politik identitas di kalangan pemilih, penggiringan opini rakyat oleh lembaga survei yang tidak kredibel, hingga konflik horizontal di masyarakat.

Berdasarkan model analisis tersebut, sejujurnya dapat diketemukan titik singgung antara opsi-opsi tersebut. Mekanisme pemilihan umum secara langsung yang lahir sebagai otokritik dan pembaharuan atas cara pandang rezim lama bertali-temali dengan kemunculan wacana pemilihan kembali presiden dan kepala daerah oleh MPR dan parlemen sebagai otokritik terhadap penerapan demokrasi yang cenderung mobokrasi serta banyak mudaratnya.

Terlepas dari argumentasi dan analisis yang disuarakan oleh masing-masing pendukung opsi, merupakan sebuah keharusan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk meletakkan segala sesuatunya bagi kemaslahatan bersama, utamanya kesejahteraan masyarakat.

Boy Anugerah
Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, mahasiswa Pascasarjana di School of Government and Public Policy Indonesia (SGPP Indonesia).

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

Dituding Biang Kerok Banjir Sumatera, Saham Toba Pulp Digembok BEI

Kamis, 18 Desember 2025 | 14:13

Kapolda Metro Jaya Kukuhkan 1.000 Nelayan Jadi Mitra Keamanan Laut Kepulauan Seribu

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:56

OTT Jaksa di Banten: KPK Pastikan Sudah Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:49

Momen Ibu-Ibu Pengungsi Agam Nyanyikan Indonesia Raya Saat Ditengok Prabowo

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:41

Pasar Kripto Bergolak: Investor Mulai Selektif dan Waspada

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:31

Pimpinan KPK Benarkan Tangkap Oknum Jaksa dalam OTT di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:21

Waspada Angin Kencang Berpotensi Terjang Perairan Jakarta

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:02

DPR: Pembelian Kampung Haji harus Akuntabel

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:01

Target Ekonomi 8 Persen Membutuhkan Kolaborasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:58

Film TIMUR Sajikan Ketegangan Operasi Militer Prabowo Subianto di Papua

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:48

Selengkapnya