Berita

Sri Mulyani/Net

Publika

Ketidakpastian Global Tidak Dapat Diprediksi?

JUMAT, 06 DESEMBER 2019 | 08:24 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

PERNYATAAN Sri Mulyani bahwa ketidakpastian global tidak dapat diprediksi saya rasa itu pernyataan yang jujur.

Kalau pakai mainstream ekonomi yang dianut Bu Menteri dan sebagian besar ekonom di sekitar pemerintah, sudah pasti keadaan ekonomi global sekarang tidak dapat diprediksi.

Namun jika memakai ilmu sejarah dan ilmu konstitusi Indonesia, apa yang terjadi di global sekarang sangat mudah diprediksi.


Apa yang akan terjadi sebetulnya banyak orang sudah tau, yakni pertama pertumbuhan ekonomi akan melemah dalam jangka panjang, karena over suply, permintaan melemah karena daya beli merosot serta finance buble.

Kedua, daya beli masyarakat dunia dan Indonesia akan melemah, kesempatan kerja, upah dan pendapatan yang melemah. Pelemahan ini menjadi berlipat ganda akibat defresiasi dan inflasi.

Ketiga, harga minyak dan komoditas energi akan melemah dalam jangka panjang. Harga minyak akan terus melemah, rezim minyak yang menopang dunia pasca bretton woods akan rontok. Negara negara yang bergantung pada minyak dan komoditas akan rontok satu persatu. Termasuk Indonesia.

Keempat, over supply juga terjadi pada sektor properti, sementara daya beli merosot. Jadi sektor properti akab rontok satu persatu di seluruh dunia. Negara yang ditopang oleh pembangunan sektor properti akan roboh ekonominya satu persatu. Termasuk Indonesia.

Kelima, penerimaan perusahaan akan merosot, dikarenakan pasar yang melemah. Sementara kewajiban perusahaan meningkat akibat utang dan bunga.

Keenam, pendapatan pemerintah dari pajak dll, di seluruh dunia menurun. Sementara beban akibat utang dan bunga meningkat. Pemerintah di seluruh penjuru dunia akan sulit bayar utang. Demikian juga Indonesia, termasuk salah satu yang paling sulit.

Ketujuh, Indonesia yang sangat bergantung pada penerimaan dan ekspor sektor ekstraktif seperti tambang mineral, gas, batubara, sektor perkebunan, akan menghadapi kontraksi yang paling besar akibat pelemahan dalam harga komoditas.

Apakah Indonesia bisa menghadapi gejolak global? Mesti harus memahami dulu apa sebetulnya yang terjadi di tingkat global sekarang?

Globalisasi yang lama diganti oleh globalisasi yang baru. Globalisasi yang lama itu liberalisasi, neoliberalisme, perdagangan bebas. Globalisasi yang lama ditopang oleh negara negara utara.

Globalisasi yang baru adalah ICT,  digitalisasi, dan financial technology. Negara-negara yang memainkan peran kunci dalam globalisaisi juga berubah. Dominasi Eropa dan Amerika telah bergeser ke China.

Pergeseran ini akan menimbulkan komplikasi, yang menimbulkan guncangan. Penyangga ekonomi lama seperti taipan migas, taipan sumber daya alam, taipan properti, diganti oleh yang baru. Ini semacam eksekusi pemain lama oleh pemain baru.

Komplikasi ini akan menimbulkan dampak besar. Bagi Indonesia kita pernah berhadapan dengan komplikasi modal seperti sekarang ini dan menghasilkan Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Komplikasi sekarang bisa saja memghasilkan Indonesia merdeka jilid II.

Apa yang terjadi dengan Indonesia sekarang? Apakah Indonesia mengalami resesi?

Perlu diketahui bahwa Indonesia tidak resesi. Situasi internasional sekarang dilanda resesi, yakni suatu keadaan ekonomi yang menurun secara terus menerus. Resesi adalah lawan dari boom atau prosperity.

Resesi jika terus berlangsung maka akan menjadi krisis. Apabila krisis ekonomi disertai dengan krisis politik (biasanya demikian), maka implikasi krisis itu bisa berlipat ganda, bisa menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa dan bahkan bisa membubarkan negara.

Mengapa Indonesia dikatakan tidak mengalami resesi saat ini?

Karena Indonesia belum sembuh dari krisis sejak tahun 1998, jadi level ekonomi Indonesia lebih buruk dari resesi, dan mendekati krisis multidimensi.

Jika komplikasi Indonesia berlangsung lebih cepat maka, Indonesia merdeka jilid II bisa lebih cepat lagi.

Namun untuk bisa merdeka kembali memang memerlukan figur pemimpin negara berani dan tangguh. Berani merdeka kembali.

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Slank Siuman dari Jokowi

Selasa, 30 Desember 2025 | 06:02

Setengah Juta Wisatawan Serbu Surabaya

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:30

Pilkada Mau Ditarik, Rakyat Mau Diparkir

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:19

Bukan Jokowi Jika Tak Playing Victim dalam Kasus Ijazah

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:00

Sekolah di Aceh Kembali Aktif 5 Januari

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:50

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:07

Gegara Minta Duit Tak Diberi, Kekasih Bunuh Remaja Putri

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:01

Jokowi-Gibran Harusnya Malu Dikritik Slank

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:45

Pemprov DKI Hibahkan 14 Mobil Pemadam ke Bekasi hingga Karo

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:05

Rakyat Tak Boleh Terpecah Sikapi Pilkada Lewat DPRD

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:02

Selengkapnya