Berita

Dr. Syahganda Nainggolan/Net

Politik

Kehancuran Demokrasi Dan Tantangan Kaum Cendikiawan

KAMIS, 03 OKTOBER 2019 | 16:31 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

KONFERENSI Indonesia Update di Canberra yang diadakan Australian National University (ANU), pada 6-7 September 2019 lalu mengangkat tema "From Stagnation to Regression", menyoroti kehancuran kualitas demokrasi kita.

Menurutnya, "political illiberalism, weakening party foundations and escalating sectarian polarization have significantly undermined Indonesia's democratic quality. This trend, which began in the early 2010s, extended into 2019 elections and was accelerated by them" (The JP, 21/9).

Konfrensi ini sebelumnya dikritik sebagaian orang karena temanya, dianggap "overdosis" seolah-olah menyerang total bahwa negara demokrasi kita telah berubah menjadi otoritarian.

Namun, Eve Warburton dan Thomas Power, dalam "Debating quality of Indonesia's democracy" (The JP 22/7), menjelaskan bahwa tuduhan Indonesia diktatorship tidak benar, yang dimaksud "Democratic Regression" adalah "a slow moving process", yang memproduksi "illiberal democracy", "competitive authoritarian system" dan "hybrid regimes".

Illiberal Democracy sebagai contoh adalah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tanpa pengadilan dengan justifikasi mempertahankan masyarakat pluralistik.

Konfrensi para ahli Indonesia di Australia itu, sesungguhnya belum memasuki hari-hari di mana gelombang demonstrasi mahasiswa merebak di seluruh penjuru tanah air baru-baru ini atau dua minggu setelah konfrensi itu.

Mahasiswa marah karena mempersepsikan rezim berkuasa secara sepihak melumpuhkan agenda anti korupsi di Indonesia. Revisi UU KPK yang melumpuhkan otoritas KPK dalam menangkap koruptor kakap dan pemilihan ketua KPK yang dianggap tidak becus, membuat mahasiwa menduduki gedung DPR di Jakarta, menduduki gedung DPRD di daerah daerah serta terlibat dalam perkelahian dengan pihak keamanan yang menghalau mereka dengan kekerasan.

Cara kasar rezim Jokowi terhadap aksi mahasiwa ini tentu akan memasukkan tambahan baru bagi kaum cendikiawan barat dalam menilai, sesungguhnya rezim ini bukan lagi pada fase "illiberal democracy" melainkan lebih jauh, hancurnya demokrasi. Mengapa? "Illiberal Democracy" yang diargumentasikan pada kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang distigmakan fundamentalis (kanan), telah berhasil mengakibatkan sikap pro kontra banyak cendikiawan, karena tindakan kekerasan negara dianggap sebagian mereka penting untuk menjaga eksistensi masyarakat yang harmonis.

Setidaknya, cendikiawan anti Islam, akan menerima tindakan represip rezim Jokowi pada kelompok-kelompok Islam. Namun, ketika kekerasan dilakukan terhadap mahasiswa, apalagi menimbulkan korban kematian dan luka-luka, maka semua cendikiawan akan sepakat bahwa standar demokrasipun tidak lagi diterapkan di Indonesia.

Professor Paige Johnson Tan, dalam "The New Normal: Indonesian Democracy Twenty Years after Suharto", (Kyoto Review, 2018), melukiskan demokrasi kita menjadi "the only game in town".

Meminjam pendekatan Linz & Alfred Stepan, Jonson menguraikan enam ukuran konsolidasi demokrasi, yakni 1) stateness, 2) civil society, 3) political society, 4) rule of low, 5) state bureaucracy  dan 6) Economic society.

Dari keenam hal di atas, menurut Johson, meskipun "stateness" terjadi, untuk "nurturing growth and establishing security" (keberadaan negara mampu menciptakan pertumbuhan dan menjaga keamanan), namun jelas terlihat konsolidasi demokrasi lemah. Kelemahan tersebut terlihat pada civil society yang diluar etos demokrasi, media yang tidak profesional, legitimasi parpol yang rendah, birokrasi yang korup dan  bahaya lainnya lagi yaitu dikendalikannya sistem politik oleh orang orang kaya.

Hancurnya Demokrasi

"Democratic Reggression" (kemunduran demokrasi) dan "kegagalan konsolidasi demokrasi" yang dibicarakan di atas, baik oleh Aspinal dan kawan-kawan di Australia maupun oleh professor Paige Johnson Tan, Radford University, USA, menunjukkan demokrasi kita setelah dua puluh tahun ini tidak berhasil. Eve Warburton dan Tom Power membantah bahwa ada kecenderungan analisa pada negara gagal (failed state) ataupun "dictatorship" di kalangan cendikiawan barat saat ini.

Namun, kita sebagai cendikiawan lokal haruslah mampu mengatakan yang lebih jujur dan transparan bahwa sesungguhnya demokrasi sudah hancur, serta "failed state" diambang kedatangan.

Hancurnya demokrasi kita yang kurang diamati cendikiawan barat adalah kealfaan mereka menilai bahwa civil society yang selama ini di stigma ke arah kaum fundamentalis kanan, seperti FPI dan HTI, sejatinya juga sebuah kontra demokrasi. Mereka berargumen bahwa FPI seolah-olah selamanya adalah kelompok organisasi intolerant.

Padahal, dari perjalanan pertumbuhan organisasi, FPI sudah berkembang dari kelompok dengan cara cara kekerasan, fase awalnya, menjadi kelompok penekan dengan menempuh koridor demokrasi. Hal ini diperlihatkan FPI dalam pilkada DKI, khususnya, maupun pemilu/pilpres 2019, di mana FPI masuk dalam kontestasi resmi demokrasi. Sekali lagi FPI menerima cara demokrasi itu.

Persoalan FPI vs Ahok pada 2017, jikalau dianggap cendikiawan barat sebagai bentuk intoleransi berbasis agama, sesungguhnya pengamatan mereka terlalu dangkal, karena tidak melihat bahwa saat itu justru Ahok adalah penguasa alias mewakili negara, sedangkan FPI mewakili masyarakat. Dalam analisa hubungan kekuasaan/power, antara Ahok vs FPI pastilah posisi dominasi dimenangkan oleh penguasa. Sebagai penguasa saat itu, hampir pada semua teori, memastikan Ahok memimpin di depan dalam hubungan kekuasaan negara vs rakyat.

Begitu juga soal HTI. Pada masa pemerintahan SBY, semua aksi pemerintah yang merugikan organisasi masyarakat, khususnya organisasi tanpa kekerasan, dilakukan melalui jalur hukum yang normal, baik hukum pidana maupun perdata. Dalam demokrasi masa SBY "prinsip equality before the law", negara harus menyerahkan keputusan aksinya yang merugikan organisasi masyarakat diputuskan oleh pengadilan. Hal itu sesuai prinsip kebebasan yang dijamin dalam "Universal Declaration of Human rights" artikel ke-7.

Namun, dalam masa Jokowi, pembubaran organisasi HTI dilakukan oleh pemerintah tanpa melalui pengadilan. Bahkan, bersamaan dengan itu orang-orang yang pernah masuk ke organisasi tersebut di stigma sebagai ancaman nasional. Penyebutan "illiberal democracy" merupakan bias intelektual barat yang nyata.

Kegagalan cendikiawan barat lainnya adalah kegagalan melihat Pilpres 2019 yang tidak demokratis. Banyak cendikiawan barat hanya melihat keberlangsungan pemilu/pilpres itu hanya melalui besarnya partisipasi pemilih. Berbagai masalah seperti "fairness" yang jauh dari standar normal demokrasi tidak terjadi. Politik uang, politik "gentong babi", intimidasi, dan berbagai kecenderungan penggunaan kekuasaan dalam memenangkan suara, begitu massif terjadi.

Cendikiawan barat yang saat itu melihat Prabowo lebih berbahaya bagi demokrasi, khususnya karena kalangan Islam mendukung dia, cenderung berpikir, sekali lagi, tidak jernih (bias).

Namun, sekali lagi, cepat atau lambat, semua cendikiawan barat dan jaringannya di Indonesia, akan merubah pandangan politik mereka soal demokrasi, khususnya setelah demonstrasi mahasiwa kemarin ini.

Dalam perpektif "stateness", seperti analisa professor Paige Jonhson di atas, jika dilakukan analisa lebih dalam pada kegagalan negara dalam "kasus Wamena", lalainya penanganan kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera serta banyaknya korban dalam demonstrasi mahasiswa baru baru ini, maka pengakuan keberadaan negara tersebut juga tidak signifikan.

Negara, jika merujuk pada Konstitusi Indonesia, bukanlah negara mediocre, melainkan negara yang gagah melindungi rakyatnya. Negara yang dibangun oleh Bung Karno, Bung Hatta dkk adalah untuk memajukan kepentingan umum. Terlebih lagi ketika Paige Johnson pun melihat negara di jalankan oleh kaum elit kapitalis, maka kepentingan pertumbuhan dan keamanan bukanlah untuk kaum lemah, seperti buruh, petani, miskin kota dlsb melainkan tentunya untuk memperkaya kaum elit2 itu.

Catatan Akhir

Demokrasi kita sebenarnya sudah hancur. Negara pun mengalami kemerosotan kegunaan atau eksistensinya. Hal ini, menurut pengamat barat, meskipun belum hancur, tetap dianggap terburuk sepanjang sejarah paska orde baru.

Hari-hari ini, ketika anggota legislatif baru dilantik, hampir 25 juta nitizen menonton YouTube yang memotret seorang ketua BEM mengatakan "Dewan Pengkhianat Rakyat" untuk DPR RI. Demokrasi dan undang-undang adalah dua hal yang berkait erat. Jika kepercayaan publik pada pembuat undang-undang, yang sekaligus pengawas pemerintah, yaitu DPR RI, dianggap pengkhianat rakyat dan ancaman bagi demokrasi, maka perjalanan demokrasi kita semakin hancur berantakan.

Bersamaan dengan itu, sikap Jokowi yang mendukung "pelumpuhan KPK" saat ini, sedang ditunggu respon cepat atas perubahan sikapnya. Jika Jokowi terlibat pada persekongkolan sekutunya (The Jakarta Post most viewed: Jokowi's allies are his biggest problems, not the students) tetap melumpuhkan KPK, maka rakyat memastikan bahwa Jokowi sejatinya tidak masuk pada agenda anti-korupsi. Padahal sikap anti korupsi dan demokrasi merupakan agenda sebangun.

Paska gerakan mahasiswa belakangan ini, modus dan startegi pelumpuhan lawan-lawan politik melalui stigmatisasi fundamentalis kanan, harus diakhiri di kalangan cendikiawan. Karena, kenyataan permusuhan rezim Jokowi terhadap kebebasan sipil dan gerakan mahasiswa selama ini, sudah cukup jelas bagi kaum cendikiawan menyatakan kebulatan penilaian bahwa demokrasi sudah hancur. Dan kaum cendikiawan harus bersatu bangkit melakukan restorasi demokrasi.

Itulah tugas berat kaum cendikiawan ke depan.

*** Materi disampaikan pada acara diskusi "Quo Vadis Demokrasi dan Penegakan Hukum Indonesia?" oleh Pergerakan Indonesia Maju di Jakarta.

Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Institute.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya